Tidak Boleh Menyamakan Pembagian Warisan Antara Laki-Laki Dan Perempuan

Tidak Boleh Menyamakan Pembagian Warisan Antara Laki-Laki Dan Perempuan


TIDAK BOLEH MENYAMAKAN PEMBAGIAN WARISAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan.





Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Seorang wanita mengatakan : Saudara laki-laki saya meninggal, ia pernah menitipkan uang pada saya sebanyak 80.000 riyal sebagai amanat. Ia mempunyai soerang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Suatu saat, salah seorang anaknya menemui saya dan meminta uang tersebut, tapi saya mengingkarinya dengan alasan bahwa uang tersebut adalah pemberian untuk saya. Saudara saya mengetahui hal itu. Kemudian di lain waktu, anak perempuannya datang dan mengatakan, “Uang yang ditinggalkan ayahku adalah diamanatkan padamu”. Setelah beberapa saat, saya takut Allah akan memberi hukuman pada saya karena amanat yang dibebankan kepada saya. Maka saya segera membagikan uang tersebut dengan sama rata kepada keduanya, saya kasih anak perempuan itu 40.000 riyal dan demikian juga yang laki-laki. Kemudian saya pernah bertanya kepada seorang alim, ia mengatakan, “Engkau berdosa karena pembagian seperti itu, dan itu haram kau lakukan”. Apa benar pembagian seperti itu ? Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang ?

Jawaban.
Penundaan yang anda lakukan dalam hal warisan adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, bahkan seharusnya anda menunaikan amanat tersebut kepada ahlinya (yang berhak). Pembagian harta warisan dengan sama rata antara laki-laki dan perempuan di luar ketetapan Allah, karena Allah telah berfirman.

“Artinya : Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu ; bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” [An-Nisa’ : 11]

Anak-anak itu bisa laki-laki dan bisa perempuan. Yang laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian dua anak perempuan, tidak boleh disamakan antara bagian anak laki-laki dan anak perempuan.

Sekarang yang harus anda lakukan adalah meralat hal ini. Anda harus menarik kembali kelebihan uang yang telah diberikan kepada anak perempuan tersebut lalu diserahkan kepada anak laki-laki itu. Jika anda tidak bisa menarik kembali uang tersebut dari anak itu, maka anda harus menutupi kekurangan bagian anak laki-laki itu. Wallahu a’lam.

[Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Syiakh Al-Fauzan, hal 908]


[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 519-520, Darul Haq]

Seguir leyendo...

Warisan Tidak Diberikan Karena Susuan

Warisan Tidak Diberikan Karena Susuan


WARISAN TIDAK DIBERIKAN KARENA SUSUAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita meninggal dan memiliki harta tapi tidak mempunyai ahli waris, sementara orang yang paling dekat hubungannya hanya orang yang pernah disusuinya, baik laki-laki maupun perempuan, apakah yang pernah disusuinya itu berhak terhadap harta warisannya atau harta warisan itu harus diserahkan ke baitul mal ?

Jawaban.
Hubungan kekeluargaan akibat penyusuan tidak menjadi sebab warisan. Maka, saudara susu atau ayah susuan tidak mempunyai hak waris, hak perwalian, hak nafkah atau hak-hak kekerabatan lainnya. Tapi tentu saja ada hak-hak lain yang harus dihormati, adapun dalam hal warisan tidak mempunyai hak, karena, sebab, warisan itu hanya tiga : Hubungan kerabat (keturunan, baik ke atas maupun ke bawah), pernikahan dan wala’ (kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh syari’at antara yang memerdekakan budak dengan mantan budak yang disebabkan adanya pembebasan status budaknya, atau yang ada akad muwalah atau muhafalah).

Adapun penyusuan tidak termasuk penyebab warisan. Karena itu, harta peninggalan wanita tersebut menjadi hak baitul mal dan harus diserahkan ke baitul mal. Sedangkan anak yang pernah disusuinya itu tidak mempunyai hak. [Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 560]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 523-524 , Darul Haq]

Seguir leyendo...

Suami Meninggal Sebelum Menggaulinya, Apakah Wajib Berduka Cita Dan Apakah Mendapat Bagian Warisan ?

Suami Meninggal Sebelum Menggaulinya, Apakah Wajib Berduka Cita Dan Apakah Mendapat Bagian Warisan ?
SEORANG WANITA TELAH MELANGSUNGKAN AKAD NIKAH DENGAN SEPUPUNYA, LALU SANG SUAMI MENINGGAL SEBELUM MENGGAULINYA, APAKAH SI WANITA WAJIB BERDUKA CITA DAN APAKAH IA MENDAPAT BAGIAN WARISAN ?


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saudara perempuan saya berusia 14 tahun telah melangsungkan akad nikah dengan sepupunya. Namun Allah telah menetapkan kepastian pada sepupu itu, ia kini telah meninggal dunia. Saya mohon jawaban, apakah si wanita itu harus melaksanakan iddah dengan sempurna atau separuhnya atau tidak perlu, dan apakah ia berhak mendapat bagian warisan, sementara ia sama sekali belum bercampur dan belum pernah diberi apa-apa, tidak perhiasan dan tidak pula lainnya. Kami mohon jawaban, semoga Allah memberi anda balasan kebaikan.


Jawaban.
Jika seorang laki-laki meninggal sebelum menggauli istrinya, maka si istri wajib iddah dan berhak mendapat bagian warisan, berdasarkan firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaknya para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari” [Al-Baqarah : 234]

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membedakan antara yang sudah bercampur dan yang belum, Allah menetapkan secara umum dalam ayat tadi sehingga mencakup semuanya (yang sudah digauli dan yang belum). Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara shahih dari berbagai jalan, bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Tidak boleh berduka cita seroang wanita atas seorang mayat lebih dari tiga hari, kecucali terhadap suaminya. Dalam hal ini ia berduka cita terhadapnya selama empat bulan sepuluh hari”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara yang sudah dicampuri dan yang belum, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki ( se ibu saja) atau seorang saudara perempuan ( se ibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara se ibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya” [An-Nisa’ : 12]

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membedakan antara yang sudah bercampur dan yang belum. Ini menunjukkan bahwa semua istri berhak mewarisi suaminya, baik itu sudah bercampur maupun belum, selama tidak ada halangan syar’i yang menghalanginya, yaitu ; perbudakan, pembunuhan dan perbedaan agama. [Kitab Ad-Da’wah, Syaikh Ibnu Baz, juz 1, hal.160]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 527-528 Darul Haq]

Seguir leyendo...

Pembagian Harta Waris, Bagaimana Menentukan Yang Berhak Menerima Harta Waris?

Pembagian Harta Waris, Bagaimana Menentukan Yang Berhak Menerima Harta Waris?
Kategori : Waris, Hibah, Hadiah

PEMBAGIAN HARTA WARIS


Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2




BAGAIMANA MENENTUKAN YANG BERHAK MENERIMA HARTA WARIS?
Sebelum harta peninggalan si mayit diwaris, hendaknya diperhatikan perkara-perkara dibawah ini.

[1]. Al-Muwarrits (orang yang akan mewariskan hartanya) dinyatakan telah mati, bukan pergi yang mungkin kembali, atau hilang yang mungkin dicari.

[2]. Al-Waritsun wal Waritsat (ahli waris), masih hidup pada saat kematiannya Al-Muwarrits

[3]. At-Tarikah (barang pusakanya) ada, dan sudah disisakan untuk kepentingan si mayit.

[4]. Hendaknya mengerti Ta’silul Mas’alah, yaitu angka yang paling kecil sebagai dasar untuk pembagian suku-suku bagian setiap ahli waris dengan hasil angka bulat. Adapun caranya.

[a]. Jika ahli waris memiliki bagian ashabah, tidak ada yang lain, maka ta’silul mas’alahnya menurut jumlah yang ada ; yaitu laki-laki mendapat dua bagian dari bagian wanita.

Misalnya : Mayit meninggalkan 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Maka angka ta’silul mas’alahnya 3, anak laki-laki = 2 dan anak perempuan =1.
Misal lain : Mayit meninggalkan 5 anak laki-laki, maka angka aslul mas’alahnya 5, maka setiap anak laki-laki = 1

[b]. Jika ahli waris ashabul furudh hanya seorang, yang lain ashabah, maka ta’silul mas’alahnya angka yang ada.

Misalnya : Mayit meninggalkan isteri dan anak laki-laki. Maka angka ta’silul mas’alahnya 8, karena isteri mendapatkan 1/8, yang lebihnya untuk anak laki-laki; isteri = 1 dan anak laki-laki = 7

[c]. Jika ahli waris yang mendapatkan ashabul furudh lebih dari satu, atau ditambah ashabah, maka dilihat angka pecahan setiap ahli waris, yaitu : ½, ¼, 1/6, 1/8, 1/3. 2/3

[c.1] Jika sama angka pecahannya seperti 1/3, 1/3, maka ta’silul masalahnya diambil salah satu, yaitu angka 3

[c.2]. Jika pecahan satu sama lain saling memasuki, maka ta’silul masalahnya angka yang besar, seperti ½, 1/6, ta’silul masalahnya 6, 1/6 dari 6 = 1, sedangkan ½ dari 6 = 3

[c.3]. Jika pecahan satu sama lain bersepakat, maka ta’silul masalahnya salah satu angkanya dikalikan dengan angka yang paling kecil yang bisa dibagi dengan yang lain. Misalnya ; 1/6, 1/8, maka ta’silul masalahnya 24

[c.4]. Jika pecahan satu sama lain kontradiksi, maka ta’silul masalahnya sebagian angkanya dikalikan dengan angka lainnya, sekiranya bisa dibagi dengan angka yang lain. Misalnya : angak 2/3, ¼, maka ta’silul mas’alahnya 4 x 3 = 12

[d]. Bila sulit memahami bagian [c1-c4], maka bisa memilih salah satu dari angka 2, 3, 4, 6, 8, 12, 24 untuk dijadikan angka pedoman yang bisa dibagi dengan pecahan suku-suku bagian ahli waris dengan hasil yang bulat.

Misalnya : si A mendapatkan 2/3, si B mendapatkan ¼, maka angka pokok yang bisa dibagi keduanya bukan 8, tetapi 12 dan setersunya.

Dalam membagi harta waris setelah diketahui ta’silul masalah dan bagian setiap ahli warisnya, ada tiga cara yang bisa ditempuh.

[1]. Dengan cara menyebutkan pembagian masing-masing ahli waris sesuai dengan ta’silul masalahnya, lalu diberikan bagiannya.

Misalnya si mati meninggalkan harta Rp. 120.000 dan meninggalkan ahli waris : isteri, ibu dan paman. Maka ta’silul masalahnya 12, karena isteri mendapatkan 1/4, dan ibu mendapatkan 1/3.

- Isteri mendapatkan /4 dari 12 = 3, sehingga ¼ dari 120.000 = 30.000
- Ibu 1/3 dari 12 = 4, maka 1/3 dari 120.000 = 40.000
- Paman ashabah mendapatkan sisa yaitu 5, maka 120.000 – 30.000 – 40.000 = 50.000

[2]. Atau dengan mengalikan bagian setiap ahli waris dengan jumlah harta waris, kemudian dibagi hasilnya dengan ta’silul mas’alah, maka akan keluar bagiannya. Contoh seperti di atas, prakterknya.

- Isteri bagiannya 3 x 120.000 = 360.000 : 12 = 30.000
- Ibu bagiannya 4 x 120.000= 480.000 : 12 = 40.000
- Paman bagiannya 5 x 120.000 = 600.000 : 12 = 50.000

[3]. Atau membagi jumlah harta waris dengan ta’silul mas’alah, lalu hasilnya dikalikan dengan bagian ahli waris, maka akan keluar hasilnya.
Contoh seperti di atas, prkateknya.

-Isteri bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 3 (1/4 dari 12) = 30.000
-Ibu bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 4 (1/3 dari 12) = 40.000
-Paman bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 5 (sisa) = 50.000

CARA MENYELESAIKAN PERBEDAAN ANTARA SUKU BAGIAN DENGAN TA’SILUL MAS’ALAH
[1]. Jika bagian tertentu telah dibagikan kepada yang berhak dan tidak ada ashabah, ternyata harta waris masih tersisa, maka sisa tersebut dikembalikan kepda ahli waris selain suami dan isteri.

Misalnya : Si mati meninggalkan suami dan seorang anak perempuan, maka aslul masalah 4, yaitu suami mendapat ¼ = 1, dan anak perempuan mendapatkan ½ = 2. Adapun yang tersisa 1 diberikan kepada anak perempuan

[2]. Jika suku bagian ahli waris (siham) melebihi ta’silul mas’alah, hendaknya ditambah (aul).

Misalnya : Si mati meninggalkan suami dan 2 saudari selain ibu. Suami mendapatkan ½ dan saduari 2/3, ta’silul mas’alahnya 6, yang sudah tentu kurang, karena suami mendapatkan 3, dan saudari mendapatkan 4, maka ta’silul mas’alah ditambah 1, sehingga menjadi 7.

[3]. Jika suku bagian ahli waris (siham) kurang daripada ta’silul mas’alahnya, maka dikembalikan kepada ahli warisnya selain suami dan isteri, namanya : Radd.

Misalnya : Si mati meninggalkan isteri dan seorang anak perempuan. Isteri mendapatkan 1/8, 1 anak perempuan mendapatkan ½, ta’silul mas’alahnya 8, yaitu isteri =1, satu anak perempuan = 4 + sisa 3 = 7

[4]. Jika suku bagian ahli waris (siham) sama pembagiannya dengan ta’silul mas’alahnya dinamakkan (al-adalah).

Misalnya si mati meninggalkan suami dan satu saudara perempuan. Suami mendapatkan ½, dan seorang saudari mendapatkan ½, ta’silul mas’alahnya 2, yaitu suami = 1, dan seorang saudarinya = 1

Jika pada waktu pembagian ada anggota keluarga lainnya yang bukan ahli waris ikut hadir, seperti bibi atau anak yatim, faqir miskin, maka hendaknya diberi hadiah walaupun sedikit.

“Artinya : Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya)dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik” [An-Nisa : 8]

Demikian sebagian pembahasan yang bisa disajikan kepada pembaca. Untuk telaah lebih luas, dapat dibaca kitab rujukan di atas dan kitab fara’idh lainnya.

Seguir leyendo...

Orang Musyrik Tidak Diwarisi Oleh Anak-Anaknya Yang Muwahhid

Orang Musyrik Tidak Diwarisi Oleh Anak-Anaknya Yang Muwahhid


ORANG MUSYRIK TIDAK DIWARISI OLEH ANAK-ANAKNYA YANG MUWAHHID [YANG AQIDAHNYA LURUS]


Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta



Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Seorang laki-laki biasa mengerjakan shalat, puasa dan rukun-rukun Islam lainnya, namun disamping itu ia juga memohon kepada selain Allah, seperti ; bertawasul dengan para wali dan meminta pertolongan kepada mereka serta berkeyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat dan mencegah mudharat. Tolong beri tahu kami, semoga Allah memberi anda kebaikan, apakah anak-anaknya yang mengesakan Allah dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu pun mewarisi ayah mereka, dan bagaimana hukum mereka ?

Jawaban.
Orang yang mengerjakan shalat, puasa dan rukun-rukun Islam lainnya, namun disamping itu ia pun meminta pertolongan kepada orang-orang yang telah meninggal, orang-orang yang tidak ada atau kepada malaikat dan sebagainya, maka ia seorang musyrik. Jika telah dinasehati namun tidak menerima dan tetap seperti itu sampai meninggal, maka ia telah melakukan syirik akbar yang mengeluarkannya dari agama Islam, sehingga tidak boleh dimandikan, tidak boleh dishalatkan jenazahnya, tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin dan tidak boleh dimintakan ampunan untuknya serta warisannya tidak diwarisi oleh anak-anaknya, orang tuanya atau saudara-saudaranya atau lainnya yang muwahhid (yang tidak mempersekutukan Allah). Hal ini karena perbedaan agama mereka dengan si mayat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Tidaklah seorang muslim mewarisi seorang kafir dan tidaklah seorang kafir mewarisi seorang muslim” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Da’imah (dari kitab Fatawa Islamiyah), Juz 3, hal.51]

Seguir leyendo...

Melunasi Utang Sebelum Pembagian Waris

Melunasi Utang Sebelum Pembagian Waris


MELUNASI UTANG SEBELUM PEMBAGIAN WARIS

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya mewarisi harta dari seorang kerabat. Dalam hal ini ikut pula mewarisi seorang putrinya dan dua orang istrinya. Selang beberapa waktu, baru diketahui bahwa yang meninggal itu mempuyai banyak utang, namun para ahli waris yang lain enggan ikut melunasi utang-utang tersebut, sementara saya merasa kasihan terhadap yang telah meninggal itu karena kelak akan dimintai pertanggung jawab di hadapan Allah, maka saya memutuskan untuk berbisnis dengan harta yang ada pada saya agar bisa berkembang lalu saya bisa melunasi utang-utangnya, karena utang-utang tersebut melebihi harta yang ada pada saya. Bagaimana hukumnya.?

Jawaban.
Para ahli waris tidak berhak mendapat bagian warisan kecuali setelah dilunasi utang-utang tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan tentang warisan.

“Artinya : (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya” [An-Nisa : 11]

Karena itu, para ahli waris tidak berhak mendapat apa pun dari harta yang diwariskannya kecuali setelah dilunasi utang-utangnya. Jika harta warisan itu telah dibagikan karena mereka tidak tahu, lalu setelah itu mereka tahu, maka masing-masing mereka wajib mengembalikan harta yang telah diterimanya untuk melunasi utang tersebut.

Jika ada yang menolak, maka ia berdosa dan berarti ia telah berbuat aniaya terhadap si mayat dan terhadap pemiliki utang. Jika anda telah melakukan hal tersebut, yaitu anda berbisnis dengan modal harta yang anda peroleh dari warisan tersebut untuk mengembangkannya agar bisa melunasi utang-utang si mayat, maka ini merupakan tindak ijtihad, dan karena ijtihad ini mudah-mudahan anda tidak berdosa. Lain dari itu hendaknya anda bisa melunasi utang-utang tersebut dari modal pokok yang diwariksan itu dari labanya.

Tapi sebenarnya yang anda lakukan itu tidak boleh, karena anda tidak berhak menggunakan harta yang bukan hak anda. Tapi karena itu telah terlanjur anda lakukan dalam rangka ijtihad, mudah-mudahan anda tidak berdosa.


[Fatawa Islamiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3, hal.49]

Seguir leyendo...

Bila Warisan Tidak Mencukupi Untuk Membayar Hutang

Bila Warisan Tidak Mencukupi Untuk Membayar Hutang

Kategori : Adab Dan Perilaku

BILA WARISAN TIDAK MENCUKUPI UNTUK MEMBAYAR HUTANG


Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin



Di dalam kehidupan sehari-harinya seseorang tidak terlepas dari beban dan tanggungan. Di antara tanggungan yang mungkin menimpanya ialah hutang. Terutama ketika kondisi yang mendesak dan amat membutuhkan, atau kondisi-kondisi lainnya. Baik hutang tersebut terkait dengan hak manusia ataupun yang terkait dengan hak Allah. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur masalah ini, sebagaimana telah tertuang dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun yang terkait hak manusia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berhutang. Seperti pernah diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha.

“Artinya : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga pembayaran dibelakang (hutang) dan memberi jaminan dengan baju besi milik beliau” [Hadits Riwayat Bukhari 2386 –Fathul Bari- dan Muslim 1603]

Hadits tersebut menunjukkan adanya dalil bolehnya bermuamalah dengan ahli dzimmah (kafir dzimmi), dan boleh memberi suatu jaminan untuk hutang di saat mukim.[1]

Meski Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang senantiasa ingin bersegera dalam membayar hutangnya dan melebihkan pembayarannya. Jabir Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan.

“Artinya : Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau di Masjid –Mis’ar (perawi dalam sanad) berkata : Saya kira ia menyebut waktu Dhuha-. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki hutang kepadaku. Maka beliau melunasinya dan memberiku tambahan”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2394 –Fathul Bari- dan Muslim 715]

Demikianlah seharusnya setiap muslim mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, hutang yang menjadi tanggungan diri seorang muslim, hendaknya segera ditunaikan bila telah memiliki harta yang dapat untuk melunasinya, tidak mengulur-ulurnya, karena hal itu termasuk bentuk kezhaliman. Hutang ini tetap akan menjadi tanggungannya, sampai ia mati sekalipun. Jika belum dilunasi, maka ruhnya akan tergantung sampai terlunasi hutangnya tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Penguluran (hutang) oleh orang yang mampu (membayar) adalah kezhaliman” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2400 –Fathul Bari- dan Muslim 1564]

Beliau Shallalalhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

“Artinya : Jiwa (ruh) seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai terlunasi” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi 1078 dan Ibnu Majah 2413, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 6779]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak mau menyalati jenazah seseorang, karena si mayit tersebut masih memiliki tanggungan hutang. Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu menuturkan.

“Artinya : Bahwasanya, pernah dihadapkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang jenazah untuk beliau shalati. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab, “Tidak”, maka beliau pun menyalatinya. Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah yang lain, lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?”, Mereka menjawab, “Ya” maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shalatilah teman kalian ini oleh kalian”. Abu Qatadah berkata, “Wahai Rasulullah. Saya yang akan melunasi hutangnya”, maka beliau pun mau menyalatinya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2295 –Fathul Bari-]

Jadi, jika seseorang meninggal, di antara hak yang harus ditunaikan sebelum dilakukan pembagian warisan dari harta yang ditinggalkan untuk para ahli warisnya ialah melunasi hutang-hutang si mayit bila ia meninggalkan hutang, baik hutang yang terkait dengan hak Allah maupun hak manusia. Meskipun ketika melunasi hutang-hutangnya tersebut sampai menghabiskan seluruh harta yang ditinggalkannya. [2]

Akan tetapi, jika harta si mayit tersebut tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya, maka apa yang harus dilakukan ?

[1]. Jika hutang-hutangnya berkaitan dengan hak manusia, maka dibolehkan bagi wali mayit untuk meminta pengampunan dari para pemilik harta hutang atas hutang-hutang si mayit kepada mereka, baik sebagian maupun keseluruhan. Hal ini terisyaratkan dalam kisah yang dialami oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu ketika ayahnya terbunuh di medan perang Uhud, sementara ia menanggung hutang. Dia meminta kepada para pemilik harta hutang untuk membebaskan sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka menolak dan tetap berkeinginan untuk mengambil hak mereka. Akhirnya Jabir Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan memintanya menyelesaikan masalah tersebut), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada mereka agar mau meneriman kurma-kurma yang ada di kebun Jabir Radhiyallahu ‘anhu sebagai pembayarannya, dan menghalalkan (membebaskan) sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka menolak. [Lihat Shahih Al-Bukahri, hadits 2395 dan 2405 – Fathul Bari]

Dari kisah diatas terdapat dalil, bahwa wali mayit boleh meminta kepada para pemilik harta hutang untuk mebebaskan hutang-hutang si mayit. Dan pemilik harta, boleh membebaskan sebagian atau seluruh hutang si mayit, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththal dan Ibnu Munayyir. [Lihat Fathul Bari, 3/73]

Dan dari kisah diatas, juga terpahami bahwa bila si mayit tidak memiliki harta yang cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, maka dilunasi oleh walinya, atau kerabatnya. Sebagaimana juga disebutkan dalam hadits yang dituturkan Sa’ad bin Athwal Radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya.

“Artinya : Sesungguhnya saudaramu tertahan (ruhnya) karena hutangnya, maka lunasilah hutangnya”. Kemudian Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah. Aku telah melunasi semuanya, kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang wanita, sementara dia tidak punya bukti”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah dia, karena dia berhak” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, 2433, Ahmad 5/7 dan Al-Baihaqi 10/142. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah] [3]

[2]. Namun, jika tidak ada seorangpun dari keluarga atau kerabat mayit yang bisa melunasi hutang-hutangnya, maka negara atau pemerintah yang menanggung pelunasan hutangnya, [4] diambilkan dari Baitul Mal.

Dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.sebagai pemimpin kaum muslimin.

“Artinya : Aku lebih berhak menolong kaum Mukminin dari diri mereka sendiri. Jika ada seseorabng dari kaum Mukminin yang meninggal, dan meninggalkan hutang maka aku yang akan melunasinya…” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2298 –Fathul Bari- dan Muslim 1619 dari Abu Haurairah Radhiyallahu ‘anhu]

Maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah, akan melunasinya dari harta Baitul Mal, yang terdiri dari ghanimah (harta rampasan perang), jizyah (dari orang kafir yang berada dalam naungan kaum Muslimin), infak atau shadaqah serta zakat. [5]

Sebagiamana yang dipahami dari pekataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu (di saat ia tidak mampu melunasi hutang-hutang ayahnya yang wafat dalam keadaan meninggalkan hutang).

“Artinya : Kalaulah telah datang harta (jizyah) dari Bahrain, niscaya aku memberimu sekian dan sekian” [Hadits Riwayat Al-Bukahri 2296 –Fathul Bari- dan Muslim 2314]

Dan jika negara atau pemerintah tidak menanggungnya, kemudian ada diantara kaum Muslimin yang siap menanggungnya, maka hal itu dibolehkan sebagaimana kandungan hadits Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu di atas. Hal itu memberi pelajaran bahwa mayit dapat memperoleh dengan dilunasinya hutang-hutangnya, meskipun oleh selain anaknya. Dengan demikian berarti akan membebaskannya dari adzab. [6]

Berbeda halnya dengan shadaqah, karena si mayit bisa memperoleh manfaat dan pahala dari shadaqah atas nama dirinya yang dilakukan oleh anaknya saja. Sebab anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan bahwasanya, seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” [An-Najm : 39]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya, sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang ialah dari hasil usahanya sendiri. Dan anaknya, termasuk dari hasil usahanya” [Hadits Riwayat Abu Dawud 3528, An-Nasa’i 4449 dan 4451, At-Tirmidzi 1358 –dengan lafazh jamak- Ibnu Majah 2137. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami 2208 dan tahqiq Misykatul Mashabih 2770] [7]

[3]. Jika hutang si mayit berkaitan dengan hak Allah seperti nadzar haji, maka wajib ditunaikan oleh si mayit dengan harta si mayit bila mencukupi. Sedangkan bila harta si mayit tidak mencukupi ketika wafatnya, maka ditanggung oleh walinya yang akan menghajikan untuk si mayit, sebagaimana kandungan dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah ada seorang wanita dari bani Juhainah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata :

“Artinya : Sesungguhnya ibuku telah bernadzar haji, tetapi belum berhaji sampai meninggalnya, apakah aku harus menghajikan untuknya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, hajikanlah untuknya. Bukankah jika ibumu menanggung hutang maka kamu yang akan melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852- Fathul Bari]

[4]. Jika ia memiliki hutang yang berkaitan dengan hak Allah dan hak manusia, manakah yang lebih dahulu ditunaikan?

Dalam permasalahan ini, para ulama berbebda pendapat dalam tiga kelompok.[8]

Pertama : Harta si mayit yang ada dibagikan untuk hutang-hutang tersebut dengan masing-masing mendapat jatah bagian berdasarkan nisbah (prosentase), seperti pada kejadian seorang yang mengalami kebangkrutan, pailit (muflis), (yaitu) ketika dia menanggung hutang-hutang yang melampaui harta miliknya. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hambali.

Kedua : Diutamakan hutang-hutang yang berkait dengan hak manusia, dengan mempertimbangkan oleh sifat asal manusia yang bakhil (tidak memaafkan). Adapun hak Allah dibangun atas dasar sifat Allah yang suka memaafkan. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki.

Ketiga : Yang benar adalah diutamakan hak Allah daripada hak manusia, berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu di atas, yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tunaikan hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852 –Fathukl Bari-] [9]

Pendapat ketiga ini merupan pendapat ulama madzhab Syafi’i. Wallahu a’lam

Seguir leyendo...

Bagian Warisan Bagi Yang Telah Meninggal Ketika Ayahnya Masih Hidup

Bagian Warisan Bagi Yang Telah Meninggal Ketika Ayahnya Masih Hidup



Kategori Waris, Wasiat, Hibah


BAGIAN WARISAN BAGI YANG TELAH MENINGGAL KETIKA AYAHNYA MASIH HIDUP


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin





Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa hukum syari’at tentang mencegah seorang laki-laki yang meninggal ketika ayahnya masih hidup dari harta warisan, walaupun yang meninggal itu mempunyai banyak anak yang masih kecil-kecil dan juga miskin ? Apakah kita boleh memberikan sedikit bagian kepada mereka (anak-anaknya) walaupun tidak disukai oleh para ahli waris ?

Jawaban.
Disyari’atkan bagi seseorang, bila anaknya meninggal dunia dengan meninggalkan anak-anak, ketika ia masih hidup, untuk mewasiatkan bagi mereka (cucu-cucunya itu) bagian yang kurang dari sepertiganya walaupun paman-paman mereka tidak menyukai hal ini. Karena seseorang itu berhak menggunakan sepertiga hartanya setelah ia meninggal dunia. Jika cucu-cucu itu tidak ikut mewarisi maka dianjurkan untuk mewasiatkan bagian ayah mereka jika sebanyak sepertiganya atau kurang, sesuai dengan ijtihadnya. Kalau ia tidak berwasiat, maka cucu-cucunya itu tidak mendapatkan apa-apa kecuali jika paman-paman mereka mengizinkannya.

[Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa Islamiyah, Juz 3, hal. 54]

Seguir leyendo...

Yang Dikhususkan Bagi Istri Tidak Termasuk Harta Warisan

Yang Dikhususkan Bagi Istri Tidak Termasuk Harta Warisan


YANG DIKHUSUSKAN BAGI ISTRI TIDAK TERMASUK HARTA WARISAN

Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Imiyah wal Ita’


Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Imiyah wal Ifta’ ditanya : Ada seorang suami yang meninggal dunia dengan meninggalkan rumah dan isinya, termasuk kamar tidur dan perlengkapannya. Apakah kamar ini dikhususkan bagi istrinya atau milik bersama ahli waris. Ada juga emas milik istrinya yang dipinjam olehnya untuk suatu proyek, apakah harus dibayar dari harta peninggalannnya lalu diserahkan kepada sang istri atau tidak. Dan apakah wasiat untuk membangun perkampungan anak-anak yatim –di Riyadh-, sementara ibu dan anak-anak di Amman, yang mana hal ini memerlukan ongkos untuk mendatangkan mereka dari Amman ke Riyadh, apakah boleh memindahkan wasiat karena alasan mendekatkan ke Amman agar lebih dekat kepada mereka ? Kami mohon jawabannya. Jazakumullah khairan.


Jawaban.
Kamar tidur dan semua yang dikhususkan untuk istri tidak ada hubungannya dengan harta peninggalan, karena barang-barang itu telah diberikan kepada istrinya. Jika memang ada pinjaman, maka itu adalah utang yang harus ditanggung oleh si mayat dan dibayarkan dari harta peninggalannya seperti halnya utang-utang lainnya. Adapun memindahkan pembangunan penampungan dari Riyadh ke Amman dengan alasan mendekatkan merupakan hak khusus pihak pengadilan syari’at.

Hanya Allah lah sumber petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, seluruh keluarga dan para sahabatnya. [Fatawa Lajnah Da’imah, Juz 16, fatawa nomor 4726]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 529 Darul Haq]

Seguir leyendo...

Warisan Bagi Istri Yang Dicerai

Warisan Bagi Istri Yang Dicerai


WARISAN BAGI ISTRI YANG DICERAI

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah wanita yang telah diceraikan oleh suaminya yang kemudian meninggal tiba-tiba setelah menceraikannya mendapat bagian warisan, sementara ia masih dalam masa iddah, atau setelah habis masa iddah ?

Jawaban.
Wanita yang ditalak, jika suaminya meninggal ketika masih dalam masa iddah, ada dua kemungkinan, yaitu talak raj’i (yang bisa di rujuk) dan bukan raj’i (tidak bisa di rujuk).

Jika itu talak raj’i maka statusnya masih sebagai istri sehingga iddahnya berubah dari iddah talak ke iddah wafat (iddah karena ditinggal mati suami). Talak raj’i yang terjadi setelah campur tanpa iwadh (pengganti talak), baik talak pertama maupun talak yang kedua kali, jika suaminya meninggal, maka si wanita berhak mewarisinya, berdasarkan firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” [Al-Baqarah : 228]

Dalam ayat lain disebutkan.

“Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” [Ath-Thalaq : 1]

Allah Subhnahu wa Ta’ala memerintahkan wanita yang ditalak (raj’i) agar tetap tinggal di rumah suaminya pada masa iddah, Allah berfirman.

“Artinya : Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” [Ath-Thalaq : 1]

Maksudnya adalah rujuk. Jika wanita yang ditinggal mati suaminya dengan tiba-tiba itu dalam keadaan talak ba’in (yang tidak dapat di rujuk), seperti talak yang ketiga kali atau si wanita memberikan pengganti mahar kepada suaminya agar ditalak, atau sedang pada masa fasah (pemutusan ikatan pernikahan), bukan iddah talak, maka ia tidak berhak mewarisi dan statusnya tidak berubah dari iddah talak ke iddah diitnggal mati suami.

Namun demikian, ada kondisi dimana wanita yang di talak ba’in tetap berhak mewarisi, yaitu seperti ; jika sang suami mentalaknya ketika sedang sakit dengan maksud agar si istri tetap mendapat hak warisan walaupun masa iddahnya telah berakhir selama ia belum menikah lagi. Tapi jika ia telah menikah lagi maka tidak boleh mewarisi. [Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 820]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 524-525 , Darul Haq]

Seguir leyendo...

Tidak Ada Wasiat Untuk Ahli Waris

Tidak Ada Wasiat Untuk Ahli Waris
TIDAK ADA WASIAT UNTUK AHLI WARIS

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kenapa Islam melarang wasiat untuk ahli waris ?


Jawaban.
Islam melarang wasiat untuk ahli waris karena akan melanggar ketentuan-ketentuan Allah Azza wa Jalla, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan hukum-hukum pembagian waris, sebagaimana firmanNya.

“Artinya : (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya ; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya ; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa 13-14]

Jika seseorang mempunyai seorang anak permpuan dan seorang saudara perempuan sekandung, umpamanya, maka si anak mempunyai hak setengahnya sebagai bagian yang telah ditetapkan (fardh), sementara saudara perempuannya berhak atas sisanya sebagai ashabah. Jika diwasiatkan sepertiganya untuk anak perempuannya, umpamanya, berarti si anak akan mendapat dua pertiga bagian, sementara saudara perempuannya mendapat sepertiga bagian saja. Ini berarti pelanggaran terhadap ketetapan Allah.

Demikian juga jika ia mempunyai dua anak laki-laki, maka ketentuannya bahwa masing-masing berhak atas setengah bagian. Jika diwasiatkan sepertiganya untuk salah seorang mereka, maka harta tersebut menjadi tiga bagian. Ini merupakan pelanggaran terhadap ketetapan Allah dan haram dilakukan.

Demikian ini jika memang dibolehkan mewasiatkan harta warisan untuk ahli waris, maka tidak ada gunanya ketentuan pembagian warisan itu, dan tentu saja manusia akan bermain-main dengan wasiat sekehendaknya, sehingga ada ahli waris mendapat bagian lebih banyak, sementara yang lain malah bagiannya berkurang.

[Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 558]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 520-521, Darul Haq]

Seguir leyendo...

Pembagian Harta Waris, Siapakah Yang Berwenang Membagi Harta Waris?

Pembagian Harta Waris, Siapakah Yang Berwenang Membagi Harta Waris?

Kategori : Waris, Hibah, Hadiah

PEMBAGIAN HARTA WARIS


Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2




Problema keluarga sehubungan dengan pembagian harta waris atau pusaka, akan bertambah rumit manakala diantara para ahli waris ingin menguasai harta peninggalan, sehingga berdampak merugikan orang lain. Tak ayal, permusuhan antara satu dengan lainnya sulit dipadamkan. Akhirnya solusi yang ditawarkan dalam pembagian waris tersebut ialah dengan dibagi sama rata. Atau ada juga yang menyelesaikannya di meja pengadilan dan upaya lainnya.

Sebagai kaum Muslimin, sesungguhnya untuk menyelesaikan permasalahan waris ini, sehingga persaudaraan di dalam keluarga tetap terjaga dengan baik, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah penulis ingin menyampaikan perkara ini. Meski singkat, kami berharap semoga bermanfaat.

SIAPAKAH YANG BERWENANG MEMBAGI HARTA WARIS?
Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak, keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan hambaNya.

“Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan…”[An-Nisa : 11]

“Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan…” [An-Nisa : 176]

Sebab turun ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini”? Lalu turunlah ayat An-Nisa ayat 11. Lihat Fathul Baari 8/91, Shahih Muslim 3/1235, An-Nasa’i Fil Kubra 6/320

Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata, datang isteri Sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dua putri Sa’ad. Dia (isteri Sa’ad) bertanya :”Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum menikah….”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Lalu turunlah ayat waris.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil paman anak ini, sambil bersabda : “Bagikan kepada dua putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan ibunya seperdelapan Sedangkan sisanya untuk engkau”[Hadits Riwayat Ahmad, 3/352, Abu Dawud 3/314, Tuhwatul Ahwadzi 6/267, dan Ibnu Majah 2/908,Al-Hakim 4/333,Al-Baihaqi 6/229. Dihasankan oleh Al-Albani. Lihat Irwa 6/122]

Berdasarkan keterangan diatas jelaslah, bahwa yang berwenang dan berhak membagi waris, tidak lain hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Allah mempertegas dengan firmanNya : “Ini adalah ketetapan dari Allah”. Dan firmanNya : “Itu adalah ketentuan Allah”. Lihat surat An-Nisa ayat 11,13, dan 176.

Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti adil. Dan pembagiannya sudah jelas yang berhak menerimanya..Oleh sebab itu, mempelajari ilmu fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga, sehingga selamat dari memakan harta yang haram.

Berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan pembagian harta waris ini untuk kaum laki-laki dan perempuan. Allah berfirman.

“Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” [An-Nisa : 7]

Dalil pembagian harta waris secara terperinci dapat dibaca dalam surat An-Nisa ayat 11-13 dan 176.

BARANG YANG DIANGGAP SEBAGAI PENINGGALAN HARTA WARIS
Dalam ilmu fara’idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit. Lihat Fiqhul Islam Wa Adillatih 8/270.

Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata : “At-Tarikah ialah, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi. Lihat kitab Al-Mualim Fil Fara’idh hal.119

Adapun barang tidak berhak diwaris, diantaranya:

[1]. Peralatan tidur untuk isteri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada isterinya semasa hidupnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/429

[2]. Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/466

[3]. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya, atau diserahkan kepada yang berwajib. Lihat keterangannya di dalam kitab Al-Muntaqa Min Fatawa, Dr Shalih Fauzan 5/238

Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut.

[1]. Mu’nat Tajhiz Atau Perawatan Jenazah
Kebutuhan perawatan jenazah hingga penguburannya. Misalnya meliputi pembelian kain kafan, upah penggalian tanah, upah memandikan, bahkan perawatan selama dia sakit. Semua biaya ini diambilkan dari harta si mayit sebelum dilakukan hal lainnya. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dan kafanillah dia dengan dua pakaianya” [Hadits Riwayat Bukhari 2/656, Muslim 2/866] Maksudnya, peralatan dan perawatan jenazah diambilkan dari harta si mayit.

[2]. Al-Huquq Al-Muta’aliqah Bi Ainit Tarikah Atau Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Waris.
Misalnya barang yang digadaikan oleh mayit, hendaknya diselesaikan dengan menggunakan harta si mayit, sebelum hartanya di waris. Bahkan menurut Imam Syafi’i, Hanafi dan Malik. Didahulukan hak ini sebelum kebutuhan perawatan jenazah, karena berhubungan dengan harta si mayit. Lihat Fiqhul Islami wa Adillatihi 8/274. Tas-hil Fara’idh, 9. Dalilnya ialah, karena perkara ini termasuk hutang yang harus diselesaikan oleh si mayit sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 12, yaitu : “Sesudah dibayar hutangnya”.

[3]. Ad-Duyun Ghairu Al-Muta’aliqah Bit Tarikah Atau Hutang Si Mayit
Apabila si mayit mempunyai hutang, baik yang behubungan dengan berhutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti membayar zakat dan kafarah, atau yang berhubungan dengan anak Adam, seperti berhutang kepada orang lain, pembayaran gaji pegawainya, barang yang dibeli belum dibayar, melunasi pembayaran, maka sebelum diwaris, harta si mayit diambil untuk melunasinya. Dalilnya ialah.

“Artinya : Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris)” [An-Nisa : 12]

[4]. Tanfidzul Wasiyyah Atau Menunaikan Wasiat
Sebelum harta diwaris, hendaknya diambil untuk menunaikan wasiat si mayit, bila wasiat itu bukan untuk ahli waris, karena ada larangan hal ini, dan bukan wasiat yang mengandung unsur maksiat, karena ada larangan mentaati perintah maksiat. Wasiat ini tidak boleh melebihi sepertiga, karena merupakan larangan. Dalilnya, lihat surat An-Nisa ayat 12 yaitu : “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat”.

Jika empat perkara di ats telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir, sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.

Seguir leyendo...

Orang Yang Tidak Berhak Mendapat Harta Waris

Orang Yang Tidak Berhak Mendapat Harta Waris

Kategori : Waris, Hibah, Hadiah

ORANG YANG TIDAK BERHAK MENDAPAT HARTA WARIS


Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron



[1]. Ar-Riqqu Atau Hamba Sahaya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Budak adalah manusia yang tidak memiliki wewenang sendiri, tetapi dia dimiliki, boleh dijual, boleh dihibahkan dan diwaris. Dia dikuasai dan tidak memiliki kekuasaan. Adapun (yang menjadi) sebab dia tidak mendapatkan warisan, karena Allah membagikan harta waris kepada orang yang berwenang memiliki sesuatu, sedangkan dia (budak) tidak memiliki wewenang.

Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Dan barangsiapa membeli budak sedangkan budak itu memiliki harta, maka hartanya milik si penjual, kecuali bila pembeli membuat syarat” [Hadits Riwayat Bukhari 2/838 dan Muslim 3/1173]

Selanjutnya beliau berkata : Jika dia tidak berhak memiliki, maka tidak berhak mewarisi, sebab bila dia mewarisi, maka akan beralih kepemilikannya kepada pemiliknya. [Lihat Tashilul Fara’id : 21]

[2]. Al-Qatil Atau Membunuh Orang Yang Akan Mewariskan
Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh orang yang akan mewariskan, misalnya ada anak yang tidak sabar menanti warisan ayahnya, sehingga ia membunuh ayahnya, maka anak tersebut tidak berhak mengambil pusaka ayahnya. Untuk lebih jelasnya, lihat Muhtashar Al-Fiqhul Islami, hal. 774 oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri.

Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris” [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/288, Ibnu Majah 2/883, Hadits Shahih Lihat Al-Irwa’, hal. 1672]

Adapun pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat harta waris. Lihat Sunan Tirmidzi (3/288). Sedangkan jumhur ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta waris, baik dengan sengaja atau tidak . Lihat Sunan Tirmidzi (3/288).

Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja tidak berdosa apabila pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka tidaklah menghalangi pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang dibunuh., karena tujuannya untuk membela diri. Demikian juga, misalnya pembunuhan yang disebabkan karena mengobati atau semisalnya, maka tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan harta waris, selagi dia diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”. Lihat Tashilul Fara’id, hal. 21-22

[3]. Ikhtilaffud Din Atau Berlainan Agama Dan Murtad
Ahli waris lain agama, misalnya yang meninggal dunia orang Yahudi, sedangkan ahli warisnya Muslim, maka ahli waris yang Muslim tersebut tidak boleh mewarisi hartanya. Dan demikian juga sebaliknya.

Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu berkata sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak boleh orang Muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi harta orang Muslim” [Hadits Riwayat Bukhari 6/2484]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Mereka tidak mendapatkan harta waris karena antara keduanya putus hubungan secara syar’i. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada nabi Nuh ‘Alahis Salam menjelaskan anaknya yang kafir dengan firmanNya.

“Artinya : Allah berfirman : “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik” [Hud : 46]

Selanjutnya Syaikh menjelaskan : Ada dua perkara, bolehnya lain agama mewarisinya. Pertama : Al-Wala. Yaitu orang yang memerdekakan budak, dia mendapatkan warisan budak yang telah dimerdekakannya, walaupun lain agama. Kedua : Kerabat yang kafir lalu masuk Islam sebelum pembagian harta. Lihat Tashilul Fara’id, hal.22. Tiga macam diatas dinamakan hajib washaf. Artinya, keberadaannya seperti tidak adanya, karena mereka tidak mendapat harta waris.

[4]. Al-Muthallaqah Raj’iah Atau Talak Raj’i Yang Telah Habis Masa Iddahnya
Wanita yang sudah habis masa iddahnya, tidak mendapatkan warisan dari suaminya yang meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya. Tetapi bila meninggal dunia sebelum habis masa iddahnya, jika salah satunya meninggal dunia, maka mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Al-Fihul Islam oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri, hal. 775. Dalilnya ialah.

“Artinya : Dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. [At-Thalaq : 1]

Yang dapat diambil pelajaran dari ayat ini, jika isteri dalam masa iddah, maka statusnya masih isteri sampai keluar masa iddah. Karena itu si isteri harus tinggal di rumah suami, tidak boleh diusir atau keluar dari rumah suami, selama masa iddah.

[5]. Al-Muthallaqah Al-Bainah Atau Talak Tiga
Wanita yang dicerai tiga kali dinamakan thalaq ba’in. Bila suami menceraikannya dalam keadaan sehat, lalu meninggal dunia, maka si isteri tidak mendapat warisan. Demikian pula sebaliknya. Atau suami dalam keadaan sakit keras dan tidak ada dugaan menceraikannya karena takut isteri mengambil warisannya, maka si isteri tidak mendapat warisan pula. Tetapi bila suami menceraikannya karena bermaksud agar isteri tidak mendapatkan warisan, maka isteri mendapatkan warisan. Lihat Mukhtashar Al-Fiqhul Islami, Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri, hal. 775

Apa yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri bagian akhir ini benar, karena termasuk hailah atau rekayasa untuk menghalangi hak orang lain. Seperti halnya lima orang yang berserikat memiliki kambing dan jumlah kambingnya telah mencapai 40 ekor. Tiba waktu mengeluarkan zakat, mereka membaginya agar terlepas dari kewajiban mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan hailah (rekayasa) seperti ini, maka mereka tetap diwajibkan mengeluarkan zakat.

[6]. Al-Laqit Atau Anak Angkat
Dalam hal ini termasuk juga orang tua angkat. Keduanya tidak medapat warisan bila salah satunya meninggal dunia, sekalipun sama agamanya dan diakui sebagai anaknya sendiri, atau bapaknya sendiri, sudah memiliki akte kelahiran dan di catat sebagai anak atau bapak kandung, karena istilah orang tua dan anak ialah yang satu darah yang disebabkan pernikahan menurut syar’i. Dalilnya ialah firman Allah.

“Artinya : … Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan” [An-Nisa :176]

[7]. Ibu Tiri Atau Bapak Tiri
Anak tiri tidak mendapatkan warisan bila bapak tiri atau ibu tirinya meninggal dunia.

“Artinya : Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak” [An-Nisa : 11]

[8]. Auladul Li’an Atau Anak Li’an
Apabila suami menuduh isterinya berzina dan bersumpah atas nama Allah empat kali, bahwa tuduhannya benar, dan sumpah yang kelima disertai dengan kata-kata “ Laknat Allah atas diriku bila aku berdusta”, kemudian isterinya juga membalas sumpahnya sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nur ayat 6, maka anaknya dinamakan anak li’an (tidak diakui oleh suami), maka anak tersebut tidak mendapat warisan bila yang meli’an meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya, jika anak tersebut meninggal. Alasannya, karena anak itu tidak diakui oleh yang meli’an. Anak yang dili’an hanya mendapatkan harta waris dari ibunya dan sebaliknya.

[9]. Auladuz Zina Atau Anak Yang Lahir Hasil Zina
Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar’i. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatih (8/256)

Selain keterangan di atas, ada pula ahli waris yang mahjub isqath terhalang karena ada orang yang lebih kuat dan dekat dengan si mayit. Misalnya kakek mahjub (tidak mendapatkan harta waris), karena ayah si mayit masih hidup, atau cucu mahjub karena anak masih hidup, saudara mahjub dengan anak, bapak dari seterusnya

Seguir leyendo...

Membagikan Harta Warisan Ketika Pemiliknya Masih Hidup

Membagikan Harta Warisan Ketika Pemiliknya Masih Hidup


MEMBAGIKAN HARTA WARISAN KETIKA PEMILIKNYA MASIH HIDUP


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang laki-laki yang sudah menikah, alhamdulillah. Saya mempunyai harta dan hanya mempunyai seorang anak perempuan disamping seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Kondisi ekonomi anak saya cukup makmur, ia menginginkan agar saya mencatatkan apa-apa yang dikhususkan bagi pamannya, yaitu saudara saya sendiri, dari harta saya, demikian juga saudara perempuan saya menginginkan hal serupa, yaitu agar saya mencatatkan apa-apa yang dikhususkan baginya.

Perlu diketahui, bahwa saya pun beristrikan seorang wanita yang bukan ibu anak saya tersebut. Ia belum melahirkan keturunan, tapi mereka tidak menyukainya. Di sisi lain saya khawatir seandainya saya mencatatkan sesuatu untuk saudara saya, ia akan mengusir saya dan istri saya dari rumah. Saya mohon petunjuk untuk mengambil sikap yang terbaik.

Jawaban
Sikap yang terbaik adalah membiarkan harta anda tetap di tangan anda, karena anda tidak tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan anda. Jangan anda catatkan harta anda untuk siapapun, sebab jika Allah mentaqdirkan anda meninggal, maka para ahli waris anda akan mewarisi harta anda sesuai dengan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu, bagaimana mungkin anda mencatatkan atas nama mereka sementara mereka itu para ahli waris anda, dan anda pun tidak tahu, boleh jadi mereka meninggal sebelum anda sehingga malah anda yang mewarisi harta mereka. Yang jelas, kami sarankan agar anda tetap memegang harta anda, tidak mencatatkannya untuk seseorang. Biarkan ditangan anda dan anda pergunakan sesuka anda dalam batas-batas yang dibolehkan syari’at. Jika salah seorang dari anda meninggal, maka yang lainnya otomatis akan mewarisinya sesuai dengan yang telah ditetapkan Allah Subahanahu wa Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 558]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 522-523, Darul Haq]

Seguir leyendo...

Masalah Warisan

Masalah Warisan


MASALAH WARISAN


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan.







Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Kami sebuah keluarga yang terdiri dari tujuh anak perempuan. Kaka saya yang tertua telah meninggal dunia, ia mempunyai delapan anak. Apakah anak-anaknya mempunyai hak warisan dari harta ayah saya, sementara ayah saya masih hidup, sedangkan kakak saya telah meninggal. Ada permasalahan yang terjadi dengan anak-anaknya sehubungan dengan warisan tersebut.

Jawaban.
Anak-anak saudari anda tidak mempunyai hak warisan, karena mereka termasuk dzawil arham [1], sementara masih ada ashabul furudh [2] dan ashabah [3], maka tidak ada hak bagi dzawil arham itu dalam warisan. Jadi harta ayah anda itu untuk anak-anak perempuannya sbanyak dua pertiga bagian dari sisanya untuk ashabah. Jika tidak ada ashabah maka diserhakan kepada anak-anak perempuan tersebut.


[Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Syiakh Al-Fauzan, hal 908]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 519-520, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Dzawil arham ialah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan yang meninggal, tapi tidak termasuk ashabul furudh dan tidak juga ashabah.
[2] Ashabul furudh adalah orang-orang yang berhak menerima warisan yang bagiannya telah ditentukan.
[3] Ashabah adalah kerabat yang bisa menerima warisan yang tidak ditentukan kadarnya, seperti menerima seluruh harta warisan atau menerima sisa setelah pembagian ashabul furudh

Seguir leyendo...

Fara'idh, Pembagian Harta Waris

Fara'idh, Pembagian Harta Waris

Kategori : Waris, Hibah, Hadiah

FARA’IDH


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam




Fara’id jama dari faridhah, yang berarti mafrudhah, sesuatu yang diwajibkan. Yang diwajibkan ini adalah sesuatu yang sudah ditetapkan, karena makna fardhu ialah ketetapan. Seakan-akan kata ini sama dengan firman Allah : “….Nashiban Mafrudhan” [An-Nisa : 7]. Artinya bagian yang sudah ditetapkan.

Definisinya menurut syariat ialah pengetahuan tentang bagian-bagian harta waris yang diberikan di antara orang-orang yang berhak menerimnya.

Dasar tentang faraidh ini ialah Kitab Allah, yang disebutkan dalam firmanNya : “Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian…” dan seterusnya dalam dua ayat dari An-Nisa : 11-12.

Dasarnya dalam As-Sunnah ialah hadits Ibnu Abbas yang disebutkan dalam bab ini. Para ulama juga sudah menyepakati hal ini. Mengingat harta dan pembagiannya merupakan obyek yang diminati, dan biasanya harta warisan diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kekuatan, maka Allah perlu mengatur sendiri pembagiannya di dalam KitabNya, dengan penjelasan yang detail dan terinci, agar tidak menjadi ajang perdebatan dan rebutan berdasarkan hawa nafsu, membaginya diantara para ahli waris sesuai dengan tuntutan keadilan, kemaslahatan dan manfaat yang diketahuiNya. Allah mengisyaratkan hal ini di dalam firmanNya.

“Artinya : Kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya” [An-Nisa : 11]

Ini merupakan pembagian yang adil dan sekaligus memberikan kejelasan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang bersifat umum dan memberikan isyarat kepada sesuatu yang dapat dipahami sebagai keadilan. Semantara qiyas bisa mengeluarkan kita dari topik buku ini dan pembahasannya juga bisa menjadi panjang lebar.

Memperhatikan Kitab Allah tentang berbagai topik kehidupan manusia, dengan petunjuk dan cahanya, bisa menjelaskan sebagian dari rahasia-rahasia Allah yang bijaksana. Setelah ada pembagian dari Dzat Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui ini, datang para penyeru pembaruan dari para westernis, yang tujuannya hendak mengubah hukum Allah dan mengganti pembagian yang sudah ditetapkanNya. Setelah kalimat-kalimatNya menjadi sempurna, membawa kebenaran dan keadilan, merekapun beranggapan bahwa perubahan hukum yang mereka lakukan itu lebih baik dan lebih adil dari hukum-hukum Allah.

“Artinya : Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al-Maidah : 50]

Yang pasti, orang-orang yang kurang waras akalnya itu tahu undang-undang langit dan hukum-hukum kehidupan bumi, sehingga mereka menutup telinga terhadap hal-hal yang justru belum pernah mereka dengar. Mereka berada di antara para wanita yang merasakan kekurangannya, sehingga mereka ingin keluar dari syari’at Allah, di antara pesolek yang ingin berhias dengan perhiasan atheisme dan zindiq, di antara orang yang menyerukan sesuatu yang tidak didengarnya. Maka apa yang dia sampaikan hanya sekedar seruan dan panggilan, sedang mereka tidak berpikir.

Ilmu Fara’idh ini merupakan ilmu yang mulia dan penting. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mempelajarinya dalam berbagai hadits dan juga mengajarkannya. Di antaranya ialah hadits Ibnu Mas’ud secara marfu, “Pelajarilah ilmu fara’idh dan ajarkanlah ia kepada manusia”. Adakalanya yang dimaksud fara’id disini ialah hukum-hukum secara umum. Para ulama mengupasnya secara tersendiri dalam beberapa jilid buku dan mereka mengupasnya secara panjang lebar.

Untuk mempelajari hukum-hukumnya, cukup dengan memahami tiga ayat dalam surat An-Nisa, begitu pula hadits Ibnu Abbas yang disampaikan berikut, yang mencakup induk berbagai permasalahannya, shingga tidak ada yang keluar dari induk ini kecuali satu dua masalah.

Kami perlu menyampaikan hal ini sebagai mukadimah yang berkaitan dengan topik ini, agar faidah kitab ini dapat diserap secara optimal dan tidak perlu lagi uraian ke sana ke mari.

Warisan memiliki tiga sebab.
[1]. Nasab, yaitu hubungan darah sebagaimana firman Allah. “ Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak …”[Al-Ahzab : 6]
[2]. Pernikahan yang benar, yang didasarkan kepada firman Allah, “Dan bagi kalian (para suami) seperdua dari harta yang diringgalkan oleh isteri-isteri kalian…” [An-Nisa : 12]
[3]. Kepemilikan budak yang dimerdekakan, yang didasarkan kepada hadits Ibnu Umar secara marfu, “Budak yang dimerdekakan adalah kerabat seperti kerabat nasab”

Selain tiga hal ini tidak bisa menjadi sebab warisan. Begitulah menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama.Jika ada sebagian dari tiga hal ini, maka dapat dilakukan waris mewarisi di antara kedua belah pihak, termasuk pula pada kepemilikan budak yang benar.

Warisan juga mempunyai beberapa hambatan, yang jika didapati sebagian di antaranya, maka warisan tidak berlaku, begitu pula jika didapatkan sebab-sebabnya. Sebab segala sesuatu tidak menjadi sempurna kecuali dengan behimpunnya syarat-syaratnya dan ketiadaan hambatan-hambatannya. Adapun beberapa hambatan warisan ialah.

[1]. Tindak Pembunuhan.
Barangsiapa membunuh orang yang mewariskan harta kepadanya atau menjadi sebab terbunuhnya tanpa alasan yang benar, maka dia tidak bisa mewarisi darinya. Jika dilakukan secara tidak sengaja, maka itu termasuk bab mendahului sesuatu sebelum tiba waktunya, sehingga dia layak diberi hukuman karena pelanggarannya terhadap hak orang yang sengaja, dan termasuk bab menghindarkan sarana terhadap yang lainnya. Hal ini didasarkan kepada hadits Umar, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pembunuh tidak mendapatkan apa pun”[Diriwayatkan malik dalam Al-Muwaththa]

[2]. Budak.
Seorang budak tidak mewariskan bagi kerabat dekatnya yang mempunyai hubungan darah dengannya. Sebab kalaupun budak dapat mewariskan, maka warisan itu menjadi milik tuannya, karena hartanya menjadi milik tuannya.

[3]. Perbedaan Agama
Masalah ini akan dijelaskan dalam hadits Usamah di bagian mendatang, isnya Allah.

“Artinya : Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Berikanlah warisan kepada orang yang berhak menerimanya, dan sisanya untuk orang-orang laki-laki yang paling berhak”

“Artinya : Dalam satu riwayat disebutkan, “Bagilah harta warisan di antara para ahli waris yang berhak berdasarkan Kitab Allah. Adapun sisanya dari harta warisan, maka untuk orang laki-laki yang paling berhak”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang berhak membagi harta warisn agar membaginya kepada orang-orang yang berhak menerima harta warisan itu secara adil dan sesuai dengan ketentuan syariat, seperti yang dikehendaki Allah Ta’ala.

Para ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya di dalam Kitab Allah adalah dua petiga, sepertiga, seperenam, separoh, seperempat dan seperdelapan. Jika masih ada sisa setelah pembagian itu, maka diberikan kepada orang laki-laki yang paling dekat hubungan darahnya dengan mayit, karena mereka merupakan pangkal dalam ta’shib, sehingga mereka didahulukan menurut urut-urutan kedudukan dan kekerabatan mereka dengan mayit.

Seguir leyendo...

Batasan Wasiat Dengan Sepertiga Bagian Warisan

Batasan Wasiat Dengan Sepertiga Bagian Warisan


BATASAN WASIAT DENGAN SEPERTIGA BAGIAN WARISAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kenapa tidak boleh mewasiatkan warisan lebih dari sepertiganya ?

Jawaban.
Dilarangnya mewasiatkan warisan lebih dari sepertiganya, karena hak ahli waris tergantung pada harta warisan. Jika dibolehkan mewasiatkan lebih dari sepertiganya, maka akan masuk hak-hak mereka. Karena itulah ketika Sa’ad bin Abi Waqash meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mewasiatkan dua pertiga hartanya beliau berkata, “Tidak boleh”, Lalu Sa’ad berkata, “Setengahnya”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Tidak boleh”, Lalu Sa’ad berkata lagi, “Kalau begitu sepertiganya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sepertiganya. Sepertiganya itu cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga meminta-minta kepada orang lain” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, kitab Al-Janaiz no. 1295, dan Muslim, kitab Al-Washiyyah no. 1628]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menegaskan dalam hal ini tentang hikmah dilarangnya wasiat melebihi sepertiganya. Karena itu, jika ia mewasiatkan lebih dari sepertiganya lalu para ahli warisnya mengizinkan, maka hal itu tidak apa-apa. [Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 559]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 521-522, Darul Haq]

Seguir leyendo...

Apakah Istri Yang Belum Digauli Berhak Mendapat Warisan

Apakah Istri Yang Belum Digauli Berhak Mendapat Warisan

Rabu, 24 Maret 2004 10:15:06 WIB
APAKAH ISTRI YANG BELUM DIGAULI BERHAK MENDAPAT WARISAN


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang laki-laki melamar seorang gadis, lalu akad pun dilaksanakan. Sebelum bercampur, laki-laki tersebut meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan tapi tidak mempunyai anak atau kerabat ataupun ahli waris lainnya selain istri yang telah akad nikah dengannya itu. Apakah si isteri itu berhak mendapat warisan walaupun belum bercampur ?


Jawaban
Ya, ia berhak mewarisinya walaupun belum bercampur.Hal ini karena keumuman firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu” [An-Nisa’ : 12]

Jadi, seorang isteri itu statusnya sebagai isteri dengan adanya akad yang benar. Jika akad yang benar telah terjadi, lalu suaminya meninggal, maka ia berhak mewarisinya dan wajib melaksanakan iddah wafat walaupun belum bercampur, serta mendapatkan mahar dengan sempurna.
Adapun sisa warisan tersebut menjadi hak kerabat laki-laki yang mempunyai hubungan paling dekat dengan yang meninggal itu. Dalam masalah yang ditanyakan, di mana si mayat tidak mempunyai ahli waris, baik ashabul furudh maupun ‘ashabah, maka sisa warisan setelah diserahkan bagian si wanita itu menjadi hak baitul mal, karena baitul mal itu merupakan lembaga penampungan setiap harta yang tidak ada pemiliknya. [Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 821]

Seguir leyendo...

Bagaimana Anda Melakukan Ibadah Haji Umrah & Ziarah Ke Masjid Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Bagaimana Anda Melakukan Ibadah Haji Umrah & Ziarah Ke Masjid Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam 2/2


BAGAIMANA ANDA MELAKUKAN IBADAH HAJI UMRAH DAN ZIARAH KE MASJID
RASUL SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM


Oleh
Kumpulan Ulama
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]






Cara Melakukan Haji

Pertama
Jika anda melakukan haji Ifrad atau Qiran, hendaklah anda berihram dari miqat yang anda lalui.

Dan jika anda tinggal di daerah miqat, maka berihramlah menurut niat anda dari tempat tersebut.

Dan jika anda melakukan haji Tammattu', maka berihramlah dari tempat tinggal anda hari Tarwiyah, yaitu pada tanggal 8 Dzul Hijjah. Mandilah dan pakailah wangi-wangian lebih dahulu sekiranya hal itu memungkinkan, kemudian kenakanlah pakaian ihram, lalu berniatlah dengan membaca :
"Labbaika hajan, Labbaika allahumma labbaika, Labbaika laa syarikalaka labbaika, innalhamda wani'mata laka walmulka, laa syarikalaka".

"Artinya : Ku sambut panggilan-Mu untuk menunaikan haji, Ku sambut panggilan-Mu ya Illahi, Ku sambut panggilan-Mu. Ku sambut panggilan-Mu, Kau yang tiada sekutu bagi-Mu, Ku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, ni'mat dan kerajaan milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu".

Kedua
Kemudian keluarlah menuju Mina, lakukanlah shalat Zhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh disana, dengan cara mengqashar shalat yang empat raka'at (Zhuhur, Asar dan Isya') menjadi dua raka'at pada waktunya masing-masing, tanpa jama'.

Ketiga
Apabila matahari telah terbit pada hari kesembilan Dzul Hijjah (esoknya), maka berangkatlah anda menuju Arafah dengan tanpa tergesa-gesa, dan hindarilah jangan sampai mengganggu sesama jama'ah haji. Dan di Arafah lakukan shalat Zhuhur dan Asar dengan jama' Taqdim dan Qashar, dengan satu kali adzan dan dua kali iqamat.

Tentang wukuf ini, anda harus yakin bahwa anda benar-benar telah berada di dalam batas Arafah (bukan di luarnya). Dan perbanyaklah disini dzikir dan do'a, sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan, mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padang Arafah seluruhnya merupakan tempat wukuf, dan hendaklah anda tetap berada disana hingga terbenam matahari.

Keempat.
Apabila matahari telah terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah dengan tenang sambil membaca talbiyah, dan hindarilah jangan sampai mengganggu sesama muslim. Sesampainya anda di Muzdalifah, lakukanlah shalat Maghrib dan Isya' dengan jama' dan qasar. Dan hendaklah anda menetap disana hingga anda melakukan shalat Subuh. Setelah selesai shalat Subuh perbanyaklah do'a dan dzikir hingga hari tampak mulai terang, sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kelima.
Kemudian berangkatlah sebelum matahari terbit menuju Mina sambil membaca talbiyah. Bagi yang berudzur, seperti wanita dan orang-orang yang lemah, boleh berangkat menuju Mina pada malam itu juga setelah lewat pertengahan malam. Dan pungutlah di Mudzalifah batu-batu kecil sebanyak tujuh biji saja untuk melempar Jamrah Aqabah, adapun yang lain cukup anda pungut dari Mina. Demikian juga tujuh batu yang akan anda pergunakan untuk melempar Jamrah Aqabah pada hari raya, tak mengapa bagi anda untuk memungutnya dari Mina.

Keenam.
Apabila anda telah tiba di Mina, lakukanlah hal-hal dibawah ini :
Lemparlah Jamrah Aqabah, yaitu Jamrah yang terdekat dari Mekkah, dengan tujuh batu kecil secara berturut-turut sambil bertakbir pada setiap kali lemparan.

Sembelihlah kurban jika anda berkewajiban melakukannya, dan makanlah sebagian dagingnya, serta berikan sebagian besarnya kepada orang-orang fakir.

Bercukurlah dengan bersih atau pendekkan rambut anda, akan tetapi lebih utama bagi anda adalah mencukur bersih. Sedang bagi wanita cukup menggunting ujung rambutnya kira-kira sepanjang ujung jari.

Lebih utama jika ketiga perkara ini dilakukan secara tertib. Namun tak mengapa bagi anda jika anda dahulukan yang satu atas yang lain.

Apabila anda telah selesai melempar dan mencukur, berarti anda telah melaksanakan Tahallul Awal. Dan selanjutnya anda boleh mengenakan pakaian biasa dan melakukan hal-hal yang tadinya menjadi larangan ihram, kecuali berhubungan dengan istri.

Ketujuh
Kemudian berangkatlah menuju Mekkah dan lakukanlah Tawaf Ifadah setelah itu lakukanlah Sa'i jika anda melakukan haji Tamattu', ataupun anda melakukan haji Qiran atau Ifrad, akan tetapi anda belum melakukan Sa'i setelah Tawaf Qudum. Dengan demikian anda diperbolehkan mengadakan hubungan dengan isteri.

Tawaf Ifadah ini boleh diakhirkan melakukannya setelah lewat hari-hari Mina, dan menuju Mekkah setelah melempar seluruh Jamrah.

Kedelapan
Setelah Tawaf Ifadah pada hari Nahr, kembalilah ke Mina. Bermalamlah di sana pada malam hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13, dan tidak mengapa jika anda bermalam hanya dua malam saja.

Kesembilan
Lemparlah ketiga Jamrah selama anda menetap dua atau tiga hari di Mina, setelah matahari tergelincir ; anda mulai dari Jamrah Ula, yaitu yang terjauh jaraknya dari Mekkah, kemudian Jamrah Wusta (tengah), dan selanjutnya Jamrah Aqabah, setiap Jamrah dengan tujuh batu kecil secara berturut-turut sambil bertakbir pada setiap kali lemparan.

Jika anda menghendaki untuk menetap selama dua hari saja, hendaklah anda meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam di hari kedua itu. Dan jika ternyata matahari telah terbenam sebelum anda keluar dari batas Mina, maka hendaklah anda bermalam lagi pada malam hari ketiganya, dan melempar ketiga Jamrah di hari ketiga itu. Dan yang lebih utama hendaknya anda bermalam pada malam ketiga tersebut.

Bagi yang sakit atau yang lemah, boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melempar Jamrah. Dan bagi yang mewakili boleh melempar untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, kemudian untuk yang diwakilinya pada satu tempat Jamrah.

Kesepuluh
Apabila anda hendak kembali ke kampung setelah menyelesaikan segala amalan haji, lakukanlah Tawaf Wada'. Dan tiada kemurahan untuk meninggalkan Tawaf Wada' ini, kecuali bagi wanita yang sedang datang bulan (haidh) dan yang baru melahirkan (nifas).



[Disalin dari buku Petunjuk Jamaah haji dan Umrah Serta Penziarah Masjid Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, pengarang Kumpulan Ulama, hal 19-24, Diterbitkan dan Diedarkan oleh Departement Agama, Waqaf Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia]

Seguir leyendo...

Wanita Ingin Haji Tetapi Dilarang Oleh Suaminya, Hukum Haji Bagi Wanita Yang Tidak Diizinkan Suminya

Wanita Ingin Haji Tetapi Dilarang Oleh Suaminya, Hukum Haji Bagi Wanita Yang Tidak Diizinkan Suminya


WANITA INGIN HAJI TETAPI DILARANG SUAMINYA


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin





Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya seorang wanita tua dan kaya. Saya telah menyampaikan niat saya untuk haji kepada suami saya lebih dari satu kali, namun suami saya tidak memperbolehkan saya pergi haji tanpa alasan yang jelas. Tetapi saya mempunyai kakak yang ingin haji. Apakah saya boleh haji bersama kakak saya meskipun saya tidak diizinkan suami, ataukah saya tidak haji dan tetap di negeri saya karena menta'ati suami ? Mohon penjelasan, semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada Anda.

Jawaban.
Karena haji wajib dilaksanakan seketika jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Dan karena wanita penanya tersebut telah memenuhih syarat karena mendapatkan kemampuan dan mahram, maka dia wajib segera haji dan suaminya haram melarangnya tanpa alasan. Artinya, bahwa wanita penanya tersebut boleh haji bersama kakaknya meskipun suaminya tidak menyetujuinya. Sebab haji sebagai kewajiban individu seperti shalat dan puasa, dan hak Allah lebih utama untuk didahulukan, sedang suami tidak mempunyai hak melarang istri dari melaksanakan kewajiban haji tanpa alasan.


HUKUM HAJI BAGI WANITA YANG TIDAK DIIZINKAN SUAMINYA

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin




Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah sah hukumnya haji wanita yang tidak dizinkan suaminya ? Apakah pemberian izin suami terhadap istrinya untuk haji itu boleh di cabut ? Dan apakah suami boleh melarang istri untuk melaksanakan haji .?

Jawaban
Suami tidak boleh melarang istrinya yang ingin melaksanakan haji wajib jika telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji dan mendapatkan kemudahan melaksanakan haji. Sebab haji sebagai kewajiban yang harus segera dilaksanakan dan tidak boleh ditunda jika telah mempunyai kemampuan. Tapi istri disunnahkan minta izin suami untuk hal tersebut. Jika suaminya tidak mengizinkan maka istrinya boleh haji tanpa seizin suami. Dan jika suaminya telah mengizinkannya maka suaminya tidak boleh mencabut izinnya. Adapaun haji sunnah maka suami boleh melarang istrinya dan istri tidak boleh melakukan haji sunnah tanpa izin suami. Wallahu a'lam.


MENGHAJIKAN WANITA YANG TIDAK MEMPUNYAI MAHRAM BERSAMA BEBERAPA ISTRINYA

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta




Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta ditanya : Saya haji bersama beberapa istri saya dan ada seorang wanita tua yang tidak mempunyai mahram yang aku bantu sehingga dia dapat melaksanakan haji bersama keluarga saya dan dia kembali ke negerinya bersama istri-istri saya. Apakah saya berdosa dalam melakukan hal tersebut .?

Jawaban.
Karena wanita tersebut telah lanjut usia dan penanya menyebutkan bahwa wanita itu bersama beberapa istri dia sehingga wanita tua itu di antara mereka, kemudian bergabungnya wanita tua tersebut karena tiadanya orang yang melindunginya dan ketidaktahuannya tentang manasik haji, maka si penanya adalah orang yang melakukan kebaikan dalam amalnya tersebut, dan tiada dosa bagi orang-orang yang melakukan kebaikan.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada pemimpin kita Nabi Muhammad, juga kepada keluarga dan sahabatnya.


MENGGUNAKAN TABLET PENCEGAH HAIDH DALAM HAJI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum menggunakan tablet untuk mencegah haidh selama dalam haji .?

Jawaban.
Tidak mengapa melakukan hal tersebut karena terdapat manfaat dan maslahat sehingga seorang wanita dapat thawaf bersama manusia dan tidak kesulitan dalam menemaninya.



[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal. 45 - 50, penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc.]

Seguir leyendo...

Umrah Dengan Pakaian Biasa, Ihram Dengan Memakai Celana Karena Sengaja Dan Tidak Tahu

Umrah Dengan Pakaian Biasa, Ihram Dengan Memakai Celana Karena Sengaja Dan Tidak Tahu


UMRAH DENGAN PAKAIAN BIASA


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta




Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya melaksanakan umrah pada awal Ramadhan tahun ini dan saya mukim di Mekkah selama 15 hari. Lalu saya melaksanakan umrah lagi dengan baju saya dan penutup kepala. Ketika saya pertama kali sampai di Masjidil Haram, saya shalat dua raka'at dengan niat shalat Tahiyatul Masjid, lalu saya thawaf di Ka'bah tujuh kali putaran kemudian shalat dua raka'at di maqam Ibrahim 'Alaihis Salam, lalu sa'i tujuh kali putaran dan kemudian memotong rambut. Apakah yang saya lakukan benar ?

Jawaban
Apa yang anda sebutkan dalam pertanyaan bahwa yang dilakukan dalam umrah adalah suatu yang wajib dari umrah dan anda tidak wajib mengeluarkan sesuatu jika ihram dari miqat yang wajib. Hanya saja shalat dua raka'at yang dilakukan ketika masuk Masjidil Haram adalah menyalahi sunnah bagi orang yang masuk Masjidil Haram (untuk melaksanakan umrah), yaitu memulai dengan thawaf.

Adapun yang anda sebutkan bahwa anda ihram dengan memakai baju, jika yang dimaksudkan itu baju ihram, yaitu kain dan selendang yang telah digunakan dalam umrah sebelum umrah, maka tiada mengapa dalam hal tersebut, karena boleh menggunakannya berulang kali dalam haji atau umrah atau memberikan kepada orang lain untuk digunakan haji dan umrah. Tapi jika yang anda maksudkan bahwa ihram dengan baju biasa yang dipakai selain ketika ihram, maka anda salah dalam hal itu dan anda telah melakukan dua larangan dalam umrah, yaitu memakai pakaian berjahit dan menutup kepala. Jika anda mengetahui bahwa demikian itu tidak boleh, maka wajib dua fidyah, yaitu karena pakaian dan menutup kepala. Dan untuk masing-masing anda boleh menyembelih kambing yang mencukupi syarat kurban, atau memberi makan enam orang miskin masing-masing orang setengah sha' berupa kurma atau yang lain dari makanan pokok suatu daerah, atau puasa tiga hari. Dan kedua kambing atau makanan untuk 12 orang miskin diberikan kepada orang-orang miskin Mekkah dan kamu tidak boleh makan sebagian dari keduanya dan juga tidak boleh anda hadiahkan. Sedangkan untuk berpuasa boleh dilakukan di tempat dan waktu kapanpun.

Namun jika yang anda lakukan tersebut karena tidak mengetahui hukum syar'i atau karena lupa, maka tidak wajib fidyah, hanya harus taubat dan mohon ampun kepada Allah atas dua hal tersebut serta tidak akan mengulangi pekerjaan yang menafikan kewajiban-kewajiban dalam ihram seperti kedua hal tersebut. Kepada Allah kita bermohon taufiq kepada kebenaran. Dan shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.


MEMAKAI CELANA KETIKA IHRAM KARENA TIDAK TAHU

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Tahun lalu saya pergi umrah dan saya tidak mengetahui sebagian syarat-syaratnya. Ketika saya ihram dari miqat saya memakai celana pendek dan saya tidak mengetahui hukum masalah ini. Lalu setelah saya kembali, sebagian orang memberitahukan kepada saya bahwa yang saya lakukan tersebut tidak boleh. Dan tahun ini saya umrah lagi ketika saya mengetahui bahwa memakai pakaian berjahit tidak boleh ketika ihram. Apakah saya wajib membayar kifarat sebab masalah tersebut ?

Jawaban
Tidak wajib membayar fidyah karena anda tidak mengetahui hukum tersebut. Sebab seseorang dimaafkan ketika melakukan larangan tersebut karena ketidaktahuan tentang hukum. Sesungguhnya fidyah hanya wajib atas orang yang melakukan hal tersebut jika dia mengetahui dan sengaja melakukannya. Maka anda tidak wajib mengulangi umrah karena tidak melakukan apa yang merusakkan umrah. Jadi umrah anda yang kedua adalah umrah sunnah.

IHRAM DENGAN MEMAKAI CELANA KARENA SENGAJA


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrhman Al-JIbrin ditanya : Ketika di miqat saya niat ihram umrah tamattu' kepada haji, tapi saya tidak melepas celana dalam saja. Dan demikian itu disebabkan malu yang menyertai saya pada waktu itu. Sehingga saya melaksanakan umrah dengan memakai celana. Dan ketika saya ihram haji, saya mengerti bahwa saya salah ketika memakai celana dalam ihram. Maka saya melepas celana ketika ihram untuk melaksanakan haji.

Pertanyaannya, apakah saya wajib membayar kifarat karena tidak melepas celana ketika umrah saja, sebab saya melepasnya ketika melakukan haji ? Padahal saat itu saya mengetahui bahwa memakai pakaian berjahit membatalkan ihram, tapi saya melakukan itu karena sangat malu seperti saya sebutkan. Perlu diketahui bahwa umrah dan haji saya tersebut adalah yang pertama kali dan telah saya lakukan beberapa tahun lalu. Mohon penjelasan

Jawaban
Anda wajib membayar fidyah apabila sengaja tetap dalam pakaian tersebut. Sebab anda telah mengetahui bahwa demikian itu termasuk larangan dalam ihram, bukan yang membatalkannya. Adapun fidyahnya adalah puasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin, atau memotong kambing. Mana saja yang anda lakukan diantara ketiga hal tersebut, maka telah cukup. Tapi menyembelih atau memberikan makan enam orang miskin tersebut harus di Mekkah dan untuk orang-orang miskin tanah haram. Sedangkan berpuasa dapat dilakukan di mana saja. Dan anda tidak berdosa karena terlambat melaksanakan kifarat, hanya saja anda lengah karena bertanya dalam tempo yang lama.


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penysusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 123-130, penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc.]

Seguir leyendo...

Tidak Bermalam Di Mina Pada Hari Tasyriq Tanpa Alasan Syar'i, Bermalam Di Makkah Pada Hari Tasyriq

Tidak Bermalam Di Mina Pada Hari Tasyriq Tanpa Alasan Syar'i, Bermalam Di Makkah Pada Hari Tasyriq
Kategori Hajji Dan Umrah


TIDAK MAMPU BERMALAM DI MINA KARENA PEKERJAAN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum bagi orang yang karena pekerjaannya tidak dapat mabit di Mina pada hari-hari tasyriq ?

Jawaban
Mabit di Mina gugur bagi orang-orang yang mempunya uzdur (alasan syar'i). Tapi bagi mereka wajib mengambil kesempatan sisa-sisa waktu untuk berdiam di Mina bersama jama'ah haji.

BERMALAM DI LUAR MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di luar Mina pada hari-hari tasyriq, baik hal tersebut dilakukan dengan sengaja atau karena tiadanya tempat di Mina ? Dan kapan jama'ah haji boleh mulai meninggalkan Mina ?

Jawaban
Menurut pendapat yang shahih bahwa mabit di Mina wajib pada malam ke-11 dan malam ke-12 Dzulhijjah. Pendapat ini adalah yang dinyatakan kuat oleh para peneliti hukum, Dan kewajban tersebut sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi jika tidak mendapatkan tempat di Mina maka gugur kewajiban dari mereka dan tidak wajib membayar kifarat. Namun bagi orang yang meninggalkannya tanpa alasan syar'i wajib menyembelih kurban.

Adapun waktu mulai meninggalkan Mina adalah setelah melontar tiga jumrah pada hari ke-12 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat. Tapi jika seseorang mengakhirkan pulang dari Mina hingga melontar tiga jumrah pada hari ke-13 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat maka hal itu lebih utama.

TIDAK BERMALAM DI MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ TANPA ALASAN SYAR'I

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina tiga hari, atau dua hari bagi orang yang ingin mempercepat ? Apakah dia wajib membayar kifarat dengen menyembelih satu ekor kambing setiap hari yang terlewatkannya dalam mabit, ataukah hanya wajib menyembelih satu ekor kambing untuk dua atau tiga hari karena tidak mabit di Mina ? Kami mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.

Jawaban
Orang yang meninggalkan mabit di Mina pada hari-hari tasyriq tanpa alasan syar'i maka dia telah meninggalkan ibadah yang disyariatkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataan dan perbuatannya serta penjelasannya tentang rukhsah bagi orang-orang yang berhalangan, seperti para pengembala dan orang-orang yang memberikan air minum denga air zamzam. Sedangkan rukshah adalah lawan kata keharusan. Karena itu mabit di Mina pada hari-hari tasyriq dinilai sebagai kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji menurut dua pendapat ulama yang paling shahih. Dan barangsiapa meninggalkan mabit tanpa halangan syar'i maka dia wajib menyembelih kurban. Sebab terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu.

"Artinya : Barangsiapa yang meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia wajib menyembelih kurban" [Hadits Riwayat Malik]

Tapi cukup bagi seseorang kurban seekor kambing karena meninggalkan mabit selama hari-jari tasyriq. Wallahu 'alam.

TIDAK MABIT DI MINA KARENA SAKIT

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina satu malam, yaitu malam ke-11 Dzulhijjah karena sakit dan dia melontar jumrah pada siang harinya setelah matahari condong ke barat lalu mabit di Mina pada kari ke-12 Dzulhijjah setelah melontar jumrah ketika matahari telah condong ke barat ? Mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.

Jawaban
Selama dia meninggalkan mabit di Mina satu malam tersebut karena sakit maka dia tidak wajib membayar kifarat. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu" [At-Thagabun : 16]

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk tidak mabit di Mina kepada jama'ah yang bertugas memberikan minum air zamzam dan para penggembala karena memberikan minum zamzam kepada orang-orang yang haji dan mengembalakan ternaknya. Wallahu 'alam.

HARI 'ID BUKAN TERMASUK HARI TASYRIQ

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian manusia berada di Mina satu malam, yaitu malam ke-11 Dzulhijjah dan melontar pada hari ke-11 dan dianggapnya sebagai melontar hari kedua karena mengira telah berada di Mina dua hari. Lalu mereka meninggalkan Mina dengan berfedoman pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya" [Al-Baqarah : 203]

Sehingga dengan itu mereka meninggalkan mabit pada malam ke-12. Apakah hal tersebut boleh menurut syari'at? Dan apakah sah bila seseorang menganggap hari 'Id termasuk dua hari yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ? Ataukah mereka melontar hari ke-12 pada hari ke-11, kemudian mereka meninggalkan Mina ? Mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.

Jawaban
Yang dimaksudkan dua hari yang diperbolehkan Allah bila orang yang haji ingin mempercepat pulang dari Mina setelah melalui keduanya ketika di Mina adalah hari kedua dan hari ketiga setalah Idul Adha (11 dan 12 Dzulhijjah), bukan hari Idul Adha dan hari setelahnya (11 Dzulhijjah). Sebab Idul Adha sebagai hari haji akbar, sedangkan hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Id, yaitu hari-hari pelaksanaan melontar tiga jumrah. Dimana Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang ingin mempercepat pulang, maka dia boleh pulang sebelum terbenamnya matahari kedua, yakni hari ke-2 dari hari tasyriq (12 Dzulhijjah). Dan barangsiapa yang masih di Mina ketika terbenamnya matahari hari itu (malam ke-13) maka dia wajib mabit di Mina dan melontar jumrah pada hari ke-3 (13-Dzulhijjah). Dan demikian ini adalah yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Maka orang yang pulang pada hari ke-11 Dzulhijjah berarti dia mengurangi jumlah melontar pada hari ke-12 yang wajib dia lakukan. Karena itu dia wajib menyembelih kurban di Mekkah untuk orang-orang miskin. Sedangkan karena tidak mabit di Mina pada malam ke-12, maka dia wajib sedekah yang mampu dilakukan disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah dari kekurangan yang dilakukan karena mempercepat pulang dari Mina sebelum waktunya.

BERMALAM DI MEKKAH SELAMA HARI-HARI TASYRIQ

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Telah maklum bahwa orang-orang yang haji wajib bermalam di Mina selama hari tasyriq. Tapi jika seseorang tidak ingin tidur pada malam hari, apakah dia boleh keluar dari Mina dan berada di Masjidil Haram untuk menambah ibadah ?

Jawaban
Adapun yang dimaksud pendapat ulama tentang wajib mabit di Mina pada hari-hari Tasyriq adalah, agar seseorang tetap di Mina baik dia tidur maupun berjaga. Bukan yang dimaksud bahwa dia bermalam itu hanya bagi orang yang tidur saja. Atas dasar ini kami mengatakan kepada penanya, bahwa kamu tidak boleh menetap di Mekkah al-Mukarramah pada hari-hari tasyriq. tapi kamu wajib berada di Mina. Hanya saja ulama mengatakan, jika seseorang mengambil mayoritas malam (lebih setengah malam) di Mina maka demikian itu telah cukup baginya. Dan jika seseorang tidak mendapatkan tempat di Mina, maka dia harus mengambil tempat di ujung akhir kemah dan tidak boleh pergi ke Mekkah. Bahkan kami mengatakan, jika kamu tidak mendapatkan tempat di Mina, maka lihatlah akhir kemah jama'ah haji dan kamu harus mengambil tempat di sisi mereka. Sebab sesungguhnya yang wajib adalah agar sebagian manusia bersama sebagian yang lain. Seperti jika Masjid telah penuh, maka jama'ah membuat shaf yang besambung kepada shaf jama'ah yang lain. Wallahu 'alam

KELUAR DARI MINA PADA TANGGAL 12 DZULHIJJAH

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang jama'ah haji keluar dari Mina sebelum terbenamnya matahari pada hari ke-12 Dzulhijjah dengan niat mempercepat kepulangannya dari Mina, tapi dia mempunyai pekerjaan di Mina dan kembali lagi ke Mina setelah matahari terbenam. Apakh dia dinilai orang yang mempercepat kepulangan dari Mina ?

Jawaban
Ya' dia dinilai orang yang mempercepat pulang dari Mina. Sebab dia telah menyelesaikan haji. Adapun niatnya kembali ke Mina karena pekerjaannya tidak menghambat untuk mempercepat pelaksanaan manasik haji. Sebab ketika dia kembali ke Mina adalah karena pekerjaan, bukan untuk melakukan ibadah

[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal 197 - 201, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Seguir leyendo...

Shalat Dua Rakaat Ihram Bukan Syarat Sahnya Ihram

Shalat Dua Rakaat Ihram Bukan Syarat Sahnya Ihram


SHALAT DUA RAKAAT IHRAM BUKAN SYARAT SAHNYA IHRAM


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz






Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah sah ihram haji atau ihram umrah dengan tanpa melaksanakan shalat dua rakaat ihram ? Dan apakah mengucapkan niat ihram juga sebagai syarat sahnya ihram ?

Jawaban
Shalat sebelum ihram bukan sebagai syarat sahnya ihram, tapi hukumnya sunnah menurut mayoritas ulama. Adapun caranya adalah dengan wudhu dan shalat dua rakaat kemudian niat dalam hati apa yang ingin dilakukan dari haji atau umrah dan melafazkan hal tersebut dengan mengucapkan, "Labbaik Allahuma umratan " jika untuk umrah saja, atau "Labbaik Allahumma hajjatan " jika ingin haji saja, atau "Labbaykallumma hajjan wa 'umratan " jika ingin melaksanakan haji dan umrah sekaligus (haji qiran) seperti dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dana para sahabatnya, semoga Allah meridhai mereka. Namun niat seperti tersebut tidak harus dilafazkan dalam bentuk ucapan, bahkan cukup dalam hati, kemudian membaca talbiyah.

"Artinya : Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dengan tanpa menyekutukan apa pun kepada-Mu. Sungguh puji, nikmat, dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu".

Talbiyah ini adalah talbiyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim serta kitab-kitab hadits lain.

Sebagai dalil jumhur ulama bahwa shalat dua raka'at hukumnya sunnah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram setelah shalat, maksudnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Dzhuhur kemudian ihram dalam haji wada' dan beliau berkata : "Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, "Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini dan katakan : 'Umrah dalam haji'". Jumhur ulama mengakatan bahwa hadits ini menunjukkan disyari'atkannya shalat dua rakaat dalam ihram.

Tapi sebagian ulama mengatakan, bahwa dalam hadits tidak terdapat nash (teks) yang menunjukkan diperintahkannya shalat dua rakaat ihram. Sebab redaksi : "Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, "Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini" boleh jadi bahwa yang dimaksud adalah shalat wajib lima waktu dan bukan nash tentang shalat dua rakaat ihram. Sedangkan keberadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram setelah shalat wajib adalah tidak menunjukkan bahwa jika seseorang ihram umrah atau ihram haji setelah shalat adalah lebih utama jika dia dapat melakukan hal tersebut.


[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustakan Imam Asy-Syafi'i hal 80 - 83. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

Seguir leyendo...

Daftar Blog Saya

Pengikut

TRANSLATE INTO YOUR LANGUAGE