Tatacara Menjama' Shalat Bagi Musafir

Tatacara Menjama' Shalat Bagi Musafir


>Assalamualaikum,
>Kalau bisa akhi sekalian membantu saya sih dalam hal:
>1. masalah menjama' solat fardhu: adakah boleh menjama' solat fardhu bagi
>musafir yang kemudian menetap di satu tempat setahun/2tahun. Adakah
>selamanya dia di sana boleh menjama' solat maghrib dan isya'.
>Jazakallahu khairan.

Menjama' dua shalat dilakukan apabila kita sedang dalam perjalanan, karena
perjalanan menimbulkan banyak kesulitan, maka Allah membuat beberapa rukhsah
dalam ibadah, sebagai kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan rahmat atas mereka.
Di antara rukhsah itu ialah diperbolehkannya menjama' bagi orang yang
mengadakan perjalanan. Karena boleh jadi dia masuk waktu shalat tapi
mengalami satu dua hambatan dalam perjalanan.

Diperbolehkan baginya menjama' shalat Zhuhur dengan Ashar dalam salah satu
waktu di antara keduanya, menjama' shalat Maghrib dengan Isya' dalam salah
satu waktu di antara keduanya. Semua ini merupakan keluwesan syari'at yang
dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kemudahannya, yang
berarti merupakan karunia dari Allah agar tidak ada keberatan dalam
agama.[dinukil dari Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, hal 278]

Kemudian, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelaskan kedudukan
seseorang yang sedang dalam perjalanan kemudian siggah untuk semnetara waktu
di suatu kota :

"Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampung atau kota,
maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun tidak
diperkenankan menjama' "[lengkapnya penjenjelasan tersebut bisa anda baca
artikel dibawah inidengan judul Jama' Taqdim].

Adapun kedudukan seseorang apakan dia termasuk musafir atau mukim, Syaikh
Al-Albani menjelaskannya sebagai berikut :

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Jika seseorang tinggal di
suatu negeri selama empat hari, apakah ia harus menyempurnakan shalat
ataukah meng-qashar-nya .?

Jawaban.
Empat hari itu tidak ada hubungannya dengan niat mukim atau musafir. Tetapi
mukim atau musafir itu tergantung dengan niat seorang mukallaf dan
keadaannya.

Orang yang datang di suatu negeri untuk berdagang dan memperkirakan bahwa
perdangannya membutuhkan waktu empat hari maka orang itu tidak bisa disebut
mukim. Tergantung bagaimana niatnya (kalau dia tidak berniat mukim, maka dia
harus meng-qashar shalatnya). [Fatwa-Fatwa AlBani, hal 80 Pustaka At-Tauhid]

Sedangkan untuk masalah Jama', penjelasannya akan saya salin dari kitab
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi
Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka Mantiq, hal 368-372
penerjemah Drs.HM.Qodirun Nur

JAMA' TAQDIM

"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peperangan
Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau
mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu beliau
melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat
setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur
dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau berjalan.
Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau mengakhirkan
Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya', dan apabila beliau berangkat
setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya' dan melakukan shalat Isya'
bersama Maghrib".

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (1220), At-Tirmidzi (2/438)
Ad-Daruquthni (151), Al-Baihaqi (3/165) dan Ahmad (5/241-242), mereka semua
memperolehnya dari jalur Qutaibah bin Sa'id : " Telah bercerita kepadaku
Al-Laits bin Sa'ad dari Yazid bin Abi Habib dari Abi Thufail Amir bin
Watsilah dari Mu'adz bin Jabal, secara marfu. Dalam hal ini Abu Dawud
berkomentar :"Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Qutaibah saja".

Saya menilai : "Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak mengapa meskipun dia
sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Al-Laits selain darinya".

Di tempat lain At-Tirmidzi juga berkata : "Hadits ini hasan shahih".

Saya berpendapat : Inilah yang benar, semua perawinya tsiqah. Yakni para
perawi Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai shahih oleh Ibnul Qayyim dan
lainnya. Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada 'illat yang tidak
baik, seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa 'Al-Ghalil (571). Di sana
saya menyebutkan mutabi' (hadits yang mengikuti) kepada Qutaibah dan
beberapa syahid (hadits pendukung) yang memastikan keshahihannya.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain yang
berasal dari Abi Thufail dengan redaksi.
"Sesungguhnya mereka keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pada tahun Tabuk. Maka adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengumpulkan antara Dzuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Abu Thufail
berkata : 'Kemudian beliau mengakhirkan (jama' takhir) shalat pada suatu
hari. Lalu beliau keluar dan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian
beliau masuk (datang). Kemudian keluar dan shalat Maghrib serta Isya
sekalian".

Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan Abu Dawud
(1206), An-Nasa'i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356), Ath-Thahawi
(I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat Muslim (2/162)
dan lainnya dari jalur lain :
"Kemudian saya berkata : 'Apa maksudnya demikian ?" Dia berkata : Maksudnya
agar tidak memberatkan umatnya".

Kandungan Hukumnya
Dalam hadits ini terdapat beberapa masalah.

1. Boleh mengumpulkan dua shalat pada waktu bepergian walaupun pada
tempat selain Arafah dan Muzdalifah ; demikian pendapat jumhurul ulama.
Berbeda dengan mazdhab Hanafiyah. Mereka menakwilkannya dengan 'jama'
shuwari' yakni mengakhirkan Dzhuhur sampai mendekati waktu Ashar demikian
pula Maghrib dan Isya'. pendapat ini telah dibantah oleh jumhurul ulama dari
berbagai segi.

Pertama : Pendapat ini jelas menyalahi pengertian jama' secara dhahir.

Kedua : Tujuan disyariatkan jama' adalah untuk mempermudah dan menghindarkan
kesulitan, seperti yang telah dijelaskan oleh riwayat Muslim. Sedangkan
jama' dalam pengertian 'shuwari' masih mengandung kesulitan.

Ketiga : Sebagian hadits tentang jama' jelas menyalahkan pendapat mereka
itu. Seperti hadits Anas bin Malik yang berbunyi.
"Mengakhirkan Dzuhur sehingga masuk awal Ashar, kemudian dia menjama'
(mengumpulkan) keduanya".
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (2/151) dan lainya.

Keempat : Bahkan pendapat itu juga bertentangan dengan pengertian jama
taqdim sebagaimana dijelaskan oleh hadits Mu'adz berikut ini.
"Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia akan
menyegerakan Ashar kepada Dzuhur".
Dan sesungguhnya hadits-hadits yang serupa ini adalah banyak, sebagaimana
telah disinggung.

2. Sesungguhnya soal jama' (mengumpulkan dua shalat) disamping boleh jama
takhir, boleh juga jama taqdim. Ini dikatakan oleh Imam Asy-Syafi'i dalam
Al-Um (I/67), disamping oleh Imam Ahmad dan Ishaq, sebagaimana dikatakan
oleh At-Tarmidzi (2/441).

3. Sesungguhnya diperbolehkan jama' pada waktu turunnya (dari kendaraan)
sebagaimana diperbolehkan manakala berlangsung perjalanan. Imam Syafi'i
dalam Al-Um, setelah meriwayatkan hadits ini dari jalur Malik, mengatakan :
"Ini menunjukkan bahwa dia sedang turun bukan sedang jalan. Karena kata
'dakhala' dan 'kharaja' (masuk dan keluar) adalah tidak lain bahwa dia
sedang turun. Maka bagi seorang musafir boleh menjama' pada saat turun dan
pada saat berjalan'.

Saya berpendapat : Dengan nash ini maka tidaklah perlu menghiraukan kata
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma'ad (1/189) menuturkan : "Bukanlah
petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, melakukan jama' sambil naik
kendaraan dalam perjalanannya, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan
orang, dan tidak juga jama' itu harus pada waktu dia turun".

Nampaknya banyak kaum muslimin yang terkecoh oleh kata-kata Ibnul Qayyim
ini. Oleh karenanya mestilah ingat kembali.

Adalah janggal bila Ibnul Qayyim tidak memahi nash yang ada dalam
Al-Muwatha', Shahih Muslim dan lain-lain ini. Akan tetapi keheranan tersebut
akan hilang manakala kita ingat bahwa dia menulis kitab Az-Zad itu, adalah
pada waktu dimana dia jauh dari kitab-kitab lain, yakni dia dalam
perjalanan, sebagai seorang musafir. Inilah sebabnya mengapa dalam kitab
tersebut disamping kesalahan itu, banyak juga kesalahan yang lain. Dan
mengenai hal ini telah saya jelaskan dalam At-Ta'liqat Al-Jiyad 'Ala Zadil
Ma'ad.

Yang membuat pendapat ini tetap janggal adalah bahwa gurunya, yakni Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, telah menjelaskan dalam sebuah bukunya, berbeda dengan
apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Mengapa hal itu tidak diketahui oleh
Ibnul Qayyim padahal dia orang yang paling mengenal Ibnu Taimiyah dengan
segala pendapatnya.? Setelah menuturkan hadits itu, Syaikhul Islam dalam
Majmu'atur Rasail wal-Masa'il (2/26-27) mengatakan : "Pengertian jama' itu
ada tiga tingkatan : Manakala sambil berjalan maka pada waktu yang pertama.
Sedangkan bila turun maka pada waktu yang kedua. Inilah jama' sebagaimana
disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Anas dan Ibnu Umar. Itu
menyerupai jama' di Muzdalifah. Adapun manakala di waktu yang kedua baik
dengan berjalan maupun dengan kendaraan, maka di-jama' pada waktu yang
pertama. Ini menyerupai jama' di Arafah. Sungguh hal ini telah diriwayatkan
dalam As-Sunnan (yakni hadits Mu'adz ini). Adapun manakala turun pada waktu
keduanya, maka dalam hal ini tidak aku ketahui hadits ini menunjukkan bahwa
beliau Nabi turun di kemahnya dalam bepergian itu. Dan bahwa beliau
mengakhirkan Dzuhur kemudian keluar lalu shalat Dzuhur dan Ashar sekalian.
Kemudian beliau masuk ke tempatnya, lalu keluar lagi dan melakukan shalat
Maghrib dan Isya' sekalian. Sesungguhnya kala 'ad-dukhul' (masuk) dan
'khuruj' (keluar), hanyalah ada di rumah (kemah saja). Sedangkan orang yang
berjalan tidak akan dikatakan masuk atau keluar. Tetapi turun atau naik.

"Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau sesudah itu, tidak pernah bepergian kecuali ketika haji Wada'. Tidak
ada kasus jama' darinya kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina,
maka tidak ada seorangpun yang menukil bahwa beliau pernah menjama' di sana.
Mereka hanya menukilkan bahwa beliau memang mengqashar di sana. Ini
menunjukkan bahwa beliau dalam suatu bepergian terkadang menjama' dan
terkadang tidak. Bahkan yang lebih sering adalah bahwa beliau tidak
men-jama' . Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak menjama'. Dan juga
menunjukkan bahwa jama' bukan menjadi sunah Safar sebagaimana qashar, tetapi
dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam bepergian maupun sewaktu
tidak dalam bepergian supaya tidak memberatkan umatnya. Maka seorang musafir
bilamana memerlukan jama' maka lakukan saja, baik pada waktu kedua atau
pertama, baik ia turun untuknya atau untuk keperluan lain seperti tidur dan
istirahat pada waktu Dzuhur dan waktu Isya'. Kemudian dia turun pada waktu
Dzuhur dan waktu Isya. Dia turun pada waktu Dzuhur karena lelah dan
mengantuk serta lapar sehingga memerlukan istirahat, tidur dan makan. Dia
boleh mengakhirkan Dzuhur kepada waktu Ashar kemudian menjama' taqdim Isya
dengan Maghrib lalu sesudah itu bisa tidur agar bisa bangun di tengah malam
dalam bepergiannya. Maka menurut hadits ini dan lainnya adalah diperbolehkan
men-jama'. Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampung
atau kota, maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun
tidak diperkenankan men-jama'. Ia seperti halnya tidak boleh shalat di atas
kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum dan tidak boleh makan bangkai.
Hal-hal seperti ini hanya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain halnya
dengan soal qashar. sesungguhnya ia memang menjadi sunnah dalam shalat
perjalanan".

0 komentar:

Daftar Blog Saya

Pengikut

TRANSLATE INTO YOUR LANGUAGE