Bagaimana Anda Melakukan Ibadah Haji Umrah & Ziarah Ke Masjid Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Bagaimana Anda Melakukan Ibadah Haji Umrah & Ziarah Ke Masjid Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam 2/2


BAGAIMANA ANDA MELAKUKAN IBADAH HAJI UMRAH DAN ZIARAH KE MASJID
RASUL SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM


Oleh
Kumpulan Ulama
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]






Cara Melakukan Haji

Pertama
Jika anda melakukan haji Ifrad atau Qiran, hendaklah anda berihram dari miqat yang anda lalui.

Dan jika anda tinggal di daerah miqat, maka berihramlah menurut niat anda dari tempat tersebut.

Dan jika anda melakukan haji Tammattu', maka berihramlah dari tempat tinggal anda hari Tarwiyah, yaitu pada tanggal 8 Dzul Hijjah. Mandilah dan pakailah wangi-wangian lebih dahulu sekiranya hal itu memungkinkan, kemudian kenakanlah pakaian ihram, lalu berniatlah dengan membaca :
"Labbaika hajan, Labbaika allahumma labbaika, Labbaika laa syarikalaka labbaika, innalhamda wani'mata laka walmulka, laa syarikalaka".

"Artinya : Ku sambut panggilan-Mu untuk menunaikan haji, Ku sambut panggilan-Mu ya Illahi, Ku sambut panggilan-Mu. Ku sambut panggilan-Mu, Kau yang tiada sekutu bagi-Mu, Ku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, ni'mat dan kerajaan milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu".

Kedua
Kemudian keluarlah menuju Mina, lakukanlah shalat Zhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh disana, dengan cara mengqashar shalat yang empat raka'at (Zhuhur, Asar dan Isya') menjadi dua raka'at pada waktunya masing-masing, tanpa jama'.

Ketiga
Apabila matahari telah terbit pada hari kesembilan Dzul Hijjah (esoknya), maka berangkatlah anda menuju Arafah dengan tanpa tergesa-gesa, dan hindarilah jangan sampai mengganggu sesama jama'ah haji. Dan di Arafah lakukan shalat Zhuhur dan Asar dengan jama' Taqdim dan Qashar, dengan satu kali adzan dan dua kali iqamat.

Tentang wukuf ini, anda harus yakin bahwa anda benar-benar telah berada di dalam batas Arafah (bukan di luarnya). Dan perbanyaklah disini dzikir dan do'a, sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan, mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padang Arafah seluruhnya merupakan tempat wukuf, dan hendaklah anda tetap berada disana hingga terbenam matahari.

Keempat.
Apabila matahari telah terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah dengan tenang sambil membaca talbiyah, dan hindarilah jangan sampai mengganggu sesama muslim. Sesampainya anda di Muzdalifah, lakukanlah shalat Maghrib dan Isya' dengan jama' dan qasar. Dan hendaklah anda menetap disana hingga anda melakukan shalat Subuh. Setelah selesai shalat Subuh perbanyaklah do'a dan dzikir hingga hari tampak mulai terang, sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kelima.
Kemudian berangkatlah sebelum matahari terbit menuju Mina sambil membaca talbiyah. Bagi yang berudzur, seperti wanita dan orang-orang yang lemah, boleh berangkat menuju Mina pada malam itu juga setelah lewat pertengahan malam. Dan pungutlah di Mudzalifah batu-batu kecil sebanyak tujuh biji saja untuk melempar Jamrah Aqabah, adapun yang lain cukup anda pungut dari Mina. Demikian juga tujuh batu yang akan anda pergunakan untuk melempar Jamrah Aqabah pada hari raya, tak mengapa bagi anda untuk memungutnya dari Mina.

Keenam.
Apabila anda telah tiba di Mina, lakukanlah hal-hal dibawah ini :
Lemparlah Jamrah Aqabah, yaitu Jamrah yang terdekat dari Mekkah, dengan tujuh batu kecil secara berturut-turut sambil bertakbir pada setiap kali lemparan.

Sembelihlah kurban jika anda berkewajiban melakukannya, dan makanlah sebagian dagingnya, serta berikan sebagian besarnya kepada orang-orang fakir.

Bercukurlah dengan bersih atau pendekkan rambut anda, akan tetapi lebih utama bagi anda adalah mencukur bersih. Sedang bagi wanita cukup menggunting ujung rambutnya kira-kira sepanjang ujung jari.

Lebih utama jika ketiga perkara ini dilakukan secara tertib. Namun tak mengapa bagi anda jika anda dahulukan yang satu atas yang lain.

Apabila anda telah selesai melempar dan mencukur, berarti anda telah melaksanakan Tahallul Awal. Dan selanjutnya anda boleh mengenakan pakaian biasa dan melakukan hal-hal yang tadinya menjadi larangan ihram, kecuali berhubungan dengan istri.

Ketujuh
Kemudian berangkatlah menuju Mekkah dan lakukanlah Tawaf Ifadah setelah itu lakukanlah Sa'i jika anda melakukan haji Tamattu', ataupun anda melakukan haji Qiran atau Ifrad, akan tetapi anda belum melakukan Sa'i setelah Tawaf Qudum. Dengan demikian anda diperbolehkan mengadakan hubungan dengan isteri.

Tawaf Ifadah ini boleh diakhirkan melakukannya setelah lewat hari-hari Mina, dan menuju Mekkah setelah melempar seluruh Jamrah.

Kedelapan
Setelah Tawaf Ifadah pada hari Nahr, kembalilah ke Mina. Bermalamlah di sana pada malam hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13, dan tidak mengapa jika anda bermalam hanya dua malam saja.

Kesembilan
Lemparlah ketiga Jamrah selama anda menetap dua atau tiga hari di Mina, setelah matahari tergelincir ; anda mulai dari Jamrah Ula, yaitu yang terjauh jaraknya dari Mekkah, kemudian Jamrah Wusta (tengah), dan selanjutnya Jamrah Aqabah, setiap Jamrah dengan tujuh batu kecil secara berturut-turut sambil bertakbir pada setiap kali lemparan.

Jika anda menghendaki untuk menetap selama dua hari saja, hendaklah anda meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam di hari kedua itu. Dan jika ternyata matahari telah terbenam sebelum anda keluar dari batas Mina, maka hendaklah anda bermalam lagi pada malam hari ketiganya, dan melempar ketiga Jamrah di hari ketiga itu. Dan yang lebih utama hendaknya anda bermalam pada malam ketiga tersebut.

Bagi yang sakit atau yang lemah, boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melempar Jamrah. Dan bagi yang mewakili boleh melempar untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, kemudian untuk yang diwakilinya pada satu tempat Jamrah.

Kesepuluh
Apabila anda hendak kembali ke kampung setelah menyelesaikan segala amalan haji, lakukanlah Tawaf Wada'. Dan tiada kemurahan untuk meninggalkan Tawaf Wada' ini, kecuali bagi wanita yang sedang datang bulan (haidh) dan yang baru melahirkan (nifas).



[Disalin dari buku Petunjuk Jamaah haji dan Umrah Serta Penziarah Masjid Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, pengarang Kumpulan Ulama, hal 19-24, Diterbitkan dan Diedarkan oleh Departement Agama, Waqaf Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia]

Seguir leyendo...

Wanita Ingin Haji Tetapi Dilarang Oleh Suaminya, Hukum Haji Bagi Wanita Yang Tidak Diizinkan Suminya

Wanita Ingin Haji Tetapi Dilarang Oleh Suaminya, Hukum Haji Bagi Wanita Yang Tidak Diizinkan Suminya


WANITA INGIN HAJI TETAPI DILARANG SUAMINYA


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin





Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya seorang wanita tua dan kaya. Saya telah menyampaikan niat saya untuk haji kepada suami saya lebih dari satu kali, namun suami saya tidak memperbolehkan saya pergi haji tanpa alasan yang jelas. Tetapi saya mempunyai kakak yang ingin haji. Apakah saya boleh haji bersama kakak saya meskipun saya tidak diizinkan suami, ataukah saya tidak haji dan tetap di negeri saya karena menta'ati suami ? Mohon penjelasan, semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada Anda.

Jawaban.
Karena haji wajib dilaksanakan seketika jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Dan karena wanita penanya tersebut telah memenuhih syarat karena mendapatkan kemampuan dan mahram, maka dia wajib segera haji dan suaminya haram melarangnya tanpa alasan. Artinya, bahwa wanita penanya tersebut boleh haji bersama kakaknya meskipun suaminya tidak menyetujuinya. Sebab haji sebagai kewajiban individu seperti shalat dan puasa, dan hak Allah lebih utama untuk didahulukan, sedang suami tidak mempunyai hak melarang istri dari melaksanakan kewajiban haji tanpa alasan.


HUKUM HAJI BAGI WANITA YANG TIDAK DIIZINKAN SUAMINYA

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin




Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah sah hukumnya haji wanita yang tidak dizinkan suaminya ? Apakah pemberian izin suami terhadap istrinya untuk haji itu boleh di cabut ? Dan apakah suami boleh melarang istri untuk melaksanakan haji .?

Jawaban
Suami tidak boleh melarang istrinya yang ingin melaksanakan haji wajib jika telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji dan mendapatkan kemudahan melaksanakan haji. Sebab haji sebagai kewajiban yang harus segera dilaksanakan dan tidak boleh ditunda jika telah mempunyai kemampuan. Tapi istri disunnahkan minta izin suami untuk hal tersebut. Jika suaminya tidak mengizinkan maka istrinya boleh haji tanpa seizin suami. Dan jika suaminya telah mengizinkannya maka suaminya tidak boleh mencabut izinnya. Adapaun haji sunnah maka suami boleh melarang istrinya dan istri tidak boleh melakukan haji sunnah tanpa izin suami. Wallahu a'lam.


MENGHAJIKAN WANITA YANG TIDAK MEMPUNYAI MAHRAM BERSAMA BEBERAPA ISTRINYA

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta




Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta ditanya : Saya haji bersama beberapa istri saya dan ada seorang wanita tua yang tidak mempunyai mahram yang aku bantu sehingga dia dapat melaksanakan haji bersama keluarga saya dan dia kembali ke negerinya bersama istri-istri saya. Apakah saya berdosa dalam melakukan hal tersebut .?

Jawaban.
Karena wanita tersebut telah lanjut usia dan penanya menyebutkan bahwa wanita itu bersama beberapa istri dia sehingga wanita tua itu di antara mereka, kemudian bergabungnya wanita tua tersebut karena tiadanya orang yang melindunginya dan ketidaktahuannya tentang manasik haji, maka si penanya adalah orang yang melakukan kebaikan dalam amalnya tersebut, dan tiada dosa bagi orang-orang yang melakukan kebaikan.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada pemimpin kita Nabi Muhammad, juga kepada keluarga dan sahabatnya.


MENGGUNAKAN TABLET PENCEGAH HAIDH DALAM HAJI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum menggunakan tablet untuk mencegah haidh selama dalam haji .?

Jawaban.
Tidak mengapa melakukan hal tersebut karena terdapat manfaat dan maslahat sehingga seorang wanita dapat thawaf bersama manusia dan tidak kesulitan dalam menemaninya.



[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal. 45 - 50, penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc.]

Seguir leyendo...

Umrah Dengan Pakaian Biasa, Ihram Dengan Memakai Celana Karena Sengaja Dan Tidak Tahu

Umrah Dengan Pakaian Biasa, Ihram Dengan Memakai Celana Karena Sengaja Dan Tidak Tahu


UMRAH DENGAN PAKAIAN BIASA


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta




Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya melaksanakan umrah pada awal Ramadhan tahun ini dan saya mukim di Mekkah selama 15 hari. Lalu saya melaksanakan umrah lagi dengan baju saya dan penutup kepala. Ketika saya pertama kali sampai di Masjidil Haram, saya shalat dua raka'at dengan niat shalat Tahiyatul Masjid, lalu saya thawaf di Ka'bah tujuh kali putaran kemudian shalat dua raka'at di maqam Ibrahim 'Alaihis Salam, lalu sa'i tujuh kali putaran dan kemudian memotong rambut. Apakah yang saya lakukan benar ?

Jawaban
Apa yang anda sebutkan dalam pertanyaan bahwa yang dilakukan dalam umrah adalah suatu yang wajib dari umrah dan anda tidak wajib mengeluarkan sesuatu jika ihram dari miqat yang wajib. Hanya saja shalat dua raka'at yang dilakukan ketika masuk Masjidil Haram adalah menyalahi sunnah bagi orang yang masuk Masjidil Haram (untuk melaksanakan umrah), yaitu memulai dengan thawaf.

Adapun yang anda sebutkan bahwa anda ihram dengan memakai baju, jika yang dimaksudkan itu baju ihram, yaitu kain dan selendang yang telah digunakan dalam umrah sebelum umrah, maka tiada mengapa dalam hal tersebut, karena boleh menggunakannya berulang kali dalam haji atau umrah atau memberikan kepada orang lain untuk digunakan haji dan umrah. Tapi jika yang anda maksudkan bahwa ihram dengan baju biasa yang dipakai selain ketika ihram, maka anda salah dalam hal itu dan anda telah melakukan dua larangan dalam umrah, yaitu memakai pakaian berjahit dan menutup kepala. Jika anda mengetahui bahwa demikian itu tidak boleh, maka wajib dua fidyah, yaitu karena pakaian dan menutup kepala. Dan untuk masing-masing anda boleh menyembelih kambing yang mencukupi syarat kurban, atau memberi makan enam orang miskin masing-masing orang setengah sha' berupa kurma atau yang lain dari makanan pokok suatu daerah, atau puasa tiga hari. Dan kedua kambing atau makanan untuk 12 orang miskin diberikan kepada orang-orang miskin Mekkah dan kamu tidak boleh makan sebagian dari keduanya dan juga tidak boleh anda hadiahkan. Sedangkan untuk berpuasa boleh dilakukan di tempat dan waktu kapanpun.

Namun jika yang anda lakukan tersebut karena tidak mengetahui hukum syar'i atau karena lupa, maka tidak wajib fidyah, hanya harus taubat dan mohon ampun kepada Allah atas dua hal tersebut serta tidak akan mengulangi pekerjaan yang menafikan kewajiban-kewajiban dalam ihram seperti kedua hal tersebut. Kepada Allah kita bermohon taufiq kepada kebenaran. Dan shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.


MEMAKAI CELANA KETIKA IHRAM KARENA TIDAK TAHU

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Tahun lalu saya pergi umrah dan saya tidak mengetahui sebagian syarat-syaratnya. Ketika saya ihram dari miqat saya memakai celana pendek dan saya tidak mengetahui hukum masalah ini. Lalu setelah saya kembali, sebagian orang memberitahukan kepada saya bahwa yang saya lakukan tersebut tidak boleh. Dan tahun ini saya umrah lagi ketika saya mengetahui bahwa memakai pakaian berjahit tidak boleh ketika ihram. Apakah saya wajib membayar kifarat sebab masalah tersebut ?

Jawaban
Tidak wajib membayar fidyah karena anda tidak mengetahui hukum tersebut. Sebab seseorang dimaafkan ketika melakukan larangan tersebut karena ketidaktahuan tentang hukum. Sesungguhnya fidyah hanya wajib atas orang yang melakukan hal tersebut jika dia mengetahui dan sengaja melakukannya. Maka anda tidak wajib mengulangi umrah karena tidak melakukan apa yang merusakkan umrah. Jadi umrah anda yang kedua adalah umrah sunnah.

IHRAM DENGAN MEMAKAI CELANA KARENA SENGAJA


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrhman Al-JIbrin ditanya : Ketika di miqat saya niat ihram umrah tamattu' kepada haji, tapi saya tidak melepas celana dalam saja. Dan demikian itu disebabkan malu yang menyertai saya pada waktu itu. Sehingga saya melaksanakan umrah dengan memakai celana. Dan ketika saya ihram haji, saya mengerti bahwa saya salah ketika memakai celana dalam ihram. Maka saya melepas celana ketika ihram untuk melaksanakan haji.

Pertanyaannya, apakah saya wajib membayar kifarat karena tidak melepas celana ketika umrah saja, sebab saya melepasnya ketika melakukan haji ? Padahal saat itu saya mengetahui bahwa memakai pakaian berjahit membatalkan ihram, tapi saya melakukan itu karena sangat malu seperti saya sebutkan. Perlu diketahui bahwa umrah dan haji saya tersebut adalah yang pertama kali dan telah saya lakukan beberapa tahun lalu. Mohon penjelasan

Jawaban
Anda wajib membayar fidyah apabila sengaja tetap dalam pakaian tersebut. Sebab anda telah mengetahui bahwa demikian itu termasuk larangan dalam ihram, bukan yang membatalkannya. Adapun fidyahnya adalah puasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin, atau memotong kambing. Mana saja yang anda lakukan diantara ketiga hal tersebut, maka telah cukup. Tapi menyembelih atau memberikan makan enam orang miskin tersebut harus di Mekkah dan untuk orang-orang miskin tanah haram. Sedangkan berpuasa dapat dilakukan di mana saja. Dan anda tidak berdosa karena terlambat melaksanakan kifarat, hanya saja anda lengah karena bertanya dalam tempo yang lama.


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penysusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 123-130, penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc.]

Seguir leyendo...

Tidak Bermalam Di Mina Pada Hari Tasyriq Tanpa Alasan Syar'i, Bermalam Di Makkah Pada Hari Tasyriq

Tidak Bermalam Di Mina Pada Hari Tasyriq Tanpa Alasan Syar'i, Bermalam Di Makkah Pada Hari Tasyriq
Kategori Hajji Dan Umrah


TIDAK MAMPU BERMALAM DI MINA KARENA PEKERJAAN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum bagi orang yang karena pekerjaannya tidak dapat mabit di Mina pada hari-hari tasyriq ?

Jawaban
Mabit di Mina gugur bagi orang-orang yang mempunya uzdur (alasan syar'i). Tapi bagi mereka wajib mengambil kesempatan sisa-sisa waktu untuk berdiam di Mina bersama jama'ah haji.

BERMALAM DI LUAR MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di luar Mina pada hari-hari tasyriq, baik hal tersebut dilakukan dengan sengaja atau karena tiadanya tempat di Mina ? Dan kapan jama'ah haji boleh mulai meninggalkan Mina ?

Jawaban
Menurut pendapat yang shahih bahwa mabit di Mina wajib pada malam ke-11 dan malam ke-12 Dzulhijjah. Pendapat ini adalah yang dinyatakan kuat oleh para peneliti hukum, Dan kewajban tersebut sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi jika tidak mendapatkan tempat di Mina maka gugur kewajiban dari mereka dan tidak wajib membayar kifarat. Namun bagi orang yang meninggalkannya tanpa alasan syar'i wajib menyembelih kurban.

Adapun waktu mulai meninggalkan Mina adalah setelah melontar tiga jumrah pada hari ke-12 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat. Tapi jika seseorang mengakhirkan pulang dari Mina hingga melontar tiga jumrah pada hari ke-13 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat maka hal itu lebih utama.

TIDAK BERMALAM DI MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ TANPA ALASAN SYAR'I

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina tiga hari, atau dua hari bagi orang yang ingin mempercepat ? Apakah dia wajib membayar kifarat dengen menyembelih satu ekor kambing setiap hari yang terlewatkannya dalam mabit, ataukah hanya wajib menyembelih satu ekor kambing untuk dua atau tiga hari karena tidak mabit di Mina ? Kami mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.

Jawaban
Orang yang meninggalkan mabit di Mina pada hari-hari tasyriq tanpa alasan syar'i maka dia telah meninggalkan ibadah yang disyariatkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataan dan perbuatannya serta penjelasannya tentang rukhsah bagi orang-orang yang berhalangan, seperti para pengembala dan orang-orang yang memberikan air minum denga air zamzam. Sedangkan rukshah adalah lawan kata keharusan. Karena itu mabit di Mina pada hari-hari tasyriq dinilai sebagai kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji menurut dua pendapat ulama yang paling shahih. Dan barangsiapa meninggalkan mabit tanpa halangan syar'i maka dia wajib menyembelih kurban. Sebab terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu.

"Artinya : Barangsiapa yang meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia wajib menyembelih kurban" [Hadits Riwayat Malik]

Tapi cukup bagi seseorang kurban seekor kambing karena meninggalkan mabit selama hari-jari tasyriq. Wallahu 'alam.

TIDAK MABIT DI MINA KARENA SAKIT

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina satu malam, yaitu malam ke-11 Dzulhijjah karena sakit dan dia melontar jumrah pada siang harinya setelah matahari condong ke barat lalu mabit di Mina pada kari ke-12 Dzulhijjah setelah melontar jumrah ketika matahari telah condong ke barat ? Mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.

Jawaban
Selama dia meninggalkan mabit di Mina satu malam tersebut karena sakit maka dia tidak wajib membayar kifarat. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu" [At-Thagabun : 16]

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk tidak mabit di Mina kepada jama'ah yang bertugas memberikan minum air zamzam dan para penggembala karena memberikan minum zamzam kepada orang-orang yang haji dan mengembalakan ternaknya. Wallahu 'alam.

HARI 'ID BUKAN TERMASUK HARI TASYRIQ

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian manusia berada di Mina satu malam, yaitu malam ke-11 Dzulhijjah dan melontar pada hari ke-11 dan dianggapnya sebagai melontar hari kedua karena mengira telah berada di Mina dua hari. Lalu mereka meninggalkan Mina dengan berfedoman pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya" [Al-Baqarah : 203]

Sehingga dengan itu mereka meninggalkan mabit pada malam ke-12. Apakah hal tersebut boleh menurut syari'at? Dan apakah sah bila seseorang menganggap hari 'Id termasuk dua hari yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ? Ataukah mereka melontar hari ke-12 pada hari ke-11, kemudian mereka meninggalkan Mina ? Mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.

Jawaban
Yang dimaksudkan dua hari yang diperbolehkan Allah bila orang yang haji ingin mempercepat pulang dari Mina setelah melalui keduanya ketika di Mina adalah hari kedua dan hari ketiga setalah Idul Adha (11 dan 12 Dzulhijjah), bukan hari Idul Adha dan hari setelahnya (11 Dzulhijjah). Sebab Idul Adha sebagai hari haji akbar, sedangkan hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Id, yaitu hari-hari pelaksanaan melontar tiga jumrah. Dimana Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang ingin mempercepat pulang, maka dia boleh pulang sebelum terbenamnya matahari kedua, yakni hari ke-2 dari hari tasyriq (12 Dzulhijjah). Dan barangsiapa yang masih di Mina ketika terbenamnya matahari hari itu (malam ke-13) maka dia wajib mabit di Mina dan melontar jumrah pada hari ke-3 (13-Dzulhijjah). Dan demikian ini adalah yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Maka orang yang pulang pada hari ke-11 Dzulhijjah berarti dia mengurangi jumlah melontar pada hari ke-12 yang wajib dia lakukan. Karena itu dia wajib menyembelih kurban di Mekkah untuk orang-orang miskin. Sedangkan karena tidak mabit di Mina pada malam ke-12, maka dia wajib sedekah yang mampu dilakukan disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah dari kekurangan yang dilakukan karena mempercepat pulang dari Mina sebelum waktunya.

BERMALAM DI MEKKAH SELAMA HARI-HARI TASYRIQ

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Telah maklum bahwa orang-orang yang haji wajib bermalam di Mina selama hari tasyriq. Tapi jika seseorang tidak ingin tidur pada malam hari, apakah dia boleh keluar dari Mina dan berada di Masjidil Haram untuk menambah ibadah ?

Jawaban
Adapun yang dimaksud pendapat ulama tentang wajib mabit di Mina pada hari-hari Tasyriq adalah, agar seseorang tetap di Mina baik dia tidur maupun berjaga. Bukan yang dimaksud bahwa dia bermalam itu hanya bagi orang yang tidur saja. Atas dasar ini kami mengatakan kepada penanya, bahwa kamu tidak boleh menetap di Mekkah al-Mukarramah pada hari-hari tasyriq. tapi kamu wajib berada di Mina. Hanya saja ulama mengatakan, jika seseorang mengambil mayoritas malam (lebih setengah malam) di Mina maka demikian itu telah cukup baginya. Dan jika seseorang tidak mendapatkan tempat di Mina, maka dia harus mengambil tempat di ujung akhir kemah dan tidak boleh pergi ke Mekkah. Bahkan kami mengatakan, jika kamu tidak mendapatkan tempat di Mina, maka lihatlah akhir kemah jama'ah haji dan kamu harus mengambil tempat di sisi mereka. Sebab sesungguhnya yang wajib adalah agar sebagian manusia bersama sebagian yang lain. Seperti jika Masjid telah penuh, maka jama'ah membuat shaf yang besambung kepada shaf jama'ah yang lain. Wallahu 'alam

KELUAR DARI MINA PADA TANGGAL 12 DZULHIJJAH

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang jama'ah haji keluar dari Mina sebelum terbenamnya matahari pada hari ke-12 Dzulhijjah dengan niat mempercepat kepulangannya dari Mina, tapi dia mempunyai pekerjaan di Mina dan kembali lagi ke Mina setelah matahari terbenam. Apakh dia dinilai orang yang mempercepat kepulangan dari Mina ?

Jawaban
Ya' dia dinilai orang yang mempercepat pulang dari Mina. Sebab dia telah menyelesaikan haji. Adapun niatnya kembali ke Mina karena pekerjaannya tidak menghambat untuk mempercepat pelaksanaan manasik haji. Sebab ketika dia kembali ke Mina adalah karena pekerjaan, bukan untuk melakukan ibadah

[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal 197 - 201, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Seguir leyendo...

Shalat Dua Rakaat Ihram Bukan Syarat Sahnya Ihram

Shalat Dua Rakaat Ihram Bukan Syarat Sahnya Ihram


SHALAT DUA RAKAAT IHRAM BUKAN SYARAT SAHNYA IHRAM


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz






Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah sah ihram haji atau ihram umrah dengan tanpa melaksanakan shalat dua rakaat ihram ? Dan apakah mengucapkan niat ihram juga sebagai syarat sahnya ihram ?

Jawaban
Shalat sebelum ihram bukan sebagai syarat sahnya ihram, tapi hukumnya sunnah menurut mayoritas ulama. Adapun caranya adalah dengan wudhu dan shalat dua rakaat kemudian niat dalam hati apa yang ingin dilakukan dari haji atau umrah dan melafazkan hal tersebut dengan mengucapkan, "Labbaik Allahuma umratan " jika untuk umrah saja, atau "Labbaik Allahumma hajjatan " jika ingin haji saja, atau "Labbaykallumma hajjan wa 'umratan " jika ingin melaksanakan haji dan umrah sekaligus (haji qiran) seperti dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dana para sahabatnya, semoga Allah meridhai mereka. Namun niat seperti tersebut tidak harus dilafazkan dalam bentuk ucapan, bahkan cukup dalam hati, kemudian membaca talbiyah.

"Artinya : Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dengan tanpa menyekutukan apa pun kepada-Mu. Sungguh puji, nikmat, dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu".

Talbiyah ini adalah talbiyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim serta kitab-kitab hadits lain.

Sebagai dalil jumhur ulama bahwa shalat dua raka'at hukumnya sunnah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram setelah shalat, maksudnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Dzhuhur kemudian ihram dalam haji wada' dan beliau berkata : "Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, "Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini dan katakan : 'Umrah dalam haji'". Jumhur ulama mengakatan bahwa hadits ini menunjukkan disyari'atkannya shalat dua rakaat dalam ihram.

Tapi sebagian ulama mengatakan, bahwa dalam hadits tidak terdapat nash (teks) yang menunjukkan diperintahkannya shalat dua rakaat ihram. Sebab redaksi : "Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, "Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini" boleh jadi bahwa yang dimaksud adalah shalat wajib lima waktu dan bukan nash tentang shalat dua rakaat ihram. Sedangkan keberadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram setelah shalat wajib adalah tidak menunjukkan bahwa jika seseorang ihram umrah atau ihram haji setelah shalat adalah lebih utama jika dia dapat melakukan hal tersebut.


[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustakan Imam Asy-Syafi'i hal 80 - 83. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

Seguir leyendo...

Shalat Dua Raka'at Setelah Thawaf, Thawaf Jauh Dari Ka'bah, Mengusap Rukun Yamani Dengan Isyarat

Shalat Dua Raka'at Setelah Thawaf, Thawaf Jauh Dari Ka'bah, Mengusap Rukun Yamani Dengan Isyarat


SHALAT DUA RAKAAT SETELAH THAWAF CUKUP SEBAGAI GANTI SHALAT TAHIYATUL MASJID


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika saya ihram umrah atau haji dan saya telah masuk Masjidil Haram, apakah saya harus shalat dua rakat tahiyatul masjid ataukah saya langsung thawaf .?

Jawaban
Sesuai syari'at Islam bagi orang yang masuk Masjidil Haram baik untuk haji atau umrah adalah memuali thawaf dan cukup baginya dua putaran thawaf pengganti shalat dua raka'at tahiyatul masjid. Demikian itu dikecualikan jika ada udzur syar'i yang menghambat dari tahwaf ketika masuk Masjidil Haram, maka yang dilakukan adalah shalat dua rakaat tahiyyatul masjid kemudian thawaf jika hal itu dapat dilakukannya. Demikian jika seseorang masuk Masjidil Haram ketika telah iqamat shalat, maka dia shalat bersama manusia kemudian thawaf setelah selesai shalat.

THAWAF JAUH DARI KA'BAH


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum thawaf di belakang maqam Ibrahim atau di belakang sumur zamzam ?

Jawaban
Tidak mengapa thawaf seperti itu. Bahkan walaupun seseorang thawaf di serambi masjid, maka demikian itu cukup baginya. Tapi thawaf pada tempat yang semakin dekat kepada Ka'bah adalah yang utama, dan jika di sana ada keleluasaan dan tidak berdesak-desakan lalu orang mendekat Ka'bah maka demikian itu adalah utama. Tapi jika mendekat Ka'bah terasa berat bagi seseorang lalu dia thawaf jauh dari Ka'bah maka tiada dosa dalam demikian itu.


THAWAF DI DALAM HIJIR ISMAIL


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seseorang thawaf di dalam hijir Ismail lalu sa'i dan tahallul ihram, kemudian dia pulang ke rumahnya dan menggauli istrinya, apakah dia berdosa dalam demikian itu ?

Jawaban
Umrah orang tersebut batal karena thawafnya tidak benar. Maka dia wajib mengulangi thawaf, sa'i dan memotong rambut (tahallul) dan wajib membayar dam dengan menyembelih kambing di Mekkah, sebab kesalahannya menggauli istri sebelum merampungkan umrah sedangkan thawafnya di dalam hijir Ismail tidak benar. Seharusnya dia thawaf di luar hijir Isma'il sehingga sempurna umrahnya. Kemudian dia melakukan umrah lain yang benar dengan ihram di miqat ketika dia ihram umrah pertama. Inilah yang wajib dilakukan karena dia telah merusak umrahnya dengan menggauli istri.


MENGUSAP RUKUN YAMANI DENGAN MENGISYARATKAN KEPADANYA


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mengusap atau mengisyaratkan tangan kepada sudut Ka'bah bagian barat daya (Rukun Yamani) ketika thawaf, dan berapa kali takbir yang diucapkan ketika berada pada keuda rukun tersebut .?

Jawaban
Bagi orang yang thawaf disunnahkan mengusap Hajar Aswad dan Rukun Yamani dalam setiap putaran thawaf, bahkan disunnahkan mencium Hajar Aswad secara khusus dalam setiap putaran disertai mengusapnya hingga akhir putaran jika mudah dilakukan. Tapi jika berat dilakukan karena berdesak-desakan maka menjadi makruh hukumnya. Sebagaimana juga disunnahkan mengisyaratkan Hajar Aswad dengan tangan atau dengan tongkat seraya membaca takbir. Adapun untuk Rukun Yamani, maka sepengetahuan kami tidak terdapat dalil yang menunjukkan diperintahkannya mengisyaratkan tangan kepadanya, tapi hanya mengusapnya dengan tangan kanan jika mampu melakukan dan tidak mecium tanganya, dan mengatakan "Bismillah, Allahu Akbar" atau "Allahu Akbar". Tapi jika untuk mengusap Rukun Yamani sangat merepotkan maka tidak boleh dipaksakan untuk mengusapnya, tapi cukup melintasinya ketika thawaf dengan tanpa mengisyaratkan tangan atau takbir karena tidak terdapat dalil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tentang demikian itu seperti telah saya jelaskan dalam kitab saya, "At-Tahqiq wal Idhah li Katsir min Masail al Haj wal Umrah wa Ziyarah".

Adapun tentang jumlah hitungan ketika membaca takbir maka cukup sekali. Sebab saya tidak mengetahui dalil syar'i yang menunjukkan pengulangan membaca takbir. Dan hendaknya dalam semua putaran thawaf membaca do'a-do;a dan berbagai dzikir yang dapat dilakukan dengan diakhiri do'a yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu do'a yang masyhur.
Rabbana atinaa fii ad-dunyaa hasanah, wafil -akhiarati hasanah waqinaa 'adzaabannar

"Ya Allah berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka"

Perlu diketahui bahwa semua dzikir dan do'a dalam thawaf dan sa'i adalah sunnah, bukan wajib.


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 148-153, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Seguir leyendo...

Pengarahan Ringkas Untuk Jamaah Haji Dan Umrah

Pengarahan Ringkas Untuk Jamaah Haji Dan Umrah 2/2


PENGARAHAN RINGKAS UNTUK JAMAAH HAJI DAN UMRAH SERTA PENZIARAH MASJID RASUL SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM


Oleh
Kumpulan Ulama
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]






[28] Shalat Maghrib dan Isya dilakukan setelah sampai di Muzdalifah, baik sampainya pada waktu Maghrib ataupun setelah masuk waktu Isya.

[29] Memungut batu pelempar Jamrah, boleh dilakukan dimana saja, dan tidak harus dipungut dari Muzdalifah.

[30] Tidak disunatkan mencuci batu-batu itu, sebab hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah begitu pula para sahabat beliau. Dan agar jangan melontar dengan batu yang telah dipakai melontar.

[31] Diperbolehkan bagi orang-orang yang lemah, seperti wanita, anak-anak kecil dan yang semisalnya, untuk berangkat menuju Mina saat lewat pertengahan malam.

[32] Apabila telah sampai di Mina pada hari Raya, hendaknya jama'ah haji menghentikan bacaan Talbiyah, dan agar melontar Jamrah Aqabah dengan tujuh batu berturut-turut.

[33] Tidak disyaratkan agar batu itu tinggal di tempat lontaran, tapi yang disyaratkan adalah jatuhnya batu di tempat lontaran itu.

[34] Penyembelihan Qurban waktunya adalah sampai terbenam matahari pada hari Tasyriq yang ketiga menurut pendapat Ulama yang paling benar.

[35] Tawaf Ifadhah atau Tawaf Ziyarah adalah salah satu rukun haji yang tidak dianggap sah haji seseorang apabila Tawaf itu ditinggalkan, dan ini hendaknya dilakukan pada Hari Raya, tapi boleh juga ditunda sampai setelah hari-hari Mina.

[36] Bagi yang melakukan Haji Qiran, ia hanya wajib melakukan satu kali sa'i. Demikian pula bagi yang melakukan Haji Ifrad dan ia tetap berihram sampai hari nahr.

[37] Bagi Jama'ah haji, lebih utama baginya melakukan amalan-amalan haji pada hari nahr dengan tertib, yaitu memulai dengan melontar Jamrah Aqabah kemudian menyembelih binatang kurban, lantas mencukur bersih atau memendekkan rambutnya, setelah itu Tawaf Ifadhah di Baitullah dan selanjutnya Sa'i. Dan boleh juga amalan-amalan tersebut dilakukan dengan tidak tertib, yaitu dengan mendahulukan atau mengakhirkan satu dari yang lainnya.

[38] Tahalul penuh dapat dilaksanakan setelah melakukan hal-hal dibawah ini :
[a] Melontar Jamrah Aqabah
[b] Mencukur bersih atau memendekkan rambut
[c] Tawaf Ifadhah dan Sa'i.

[39] Apabila seorang jamaah haji menghendaki pulang secepatnya (pada tanggal 12) dari Mina. Maka harus keluar dari Mina sebelum terbenam matahari.

[40] Anak kecil yang tidak mampu melontar, hendaklah diwakili oleh walinya setelah ia melontar untuk dirinya sendiri.

[41] Begitu juga orang-orang yang tidak mampu melontar karena sakit atau lanjut usia atau karena hamil, boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melontar.

[42] Bagi yang mewakili, boleh melontar setiap jamrah dari ketiga jamrah itu untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, kemudian untuk yang diwakilinya dalam satu tempat.

[43] Bagi yang melakukan haji Tamattu' atau Qiran, sedang ia bukan penduduk Masjid Haram (Mekkah), wajib baginya membayar dam, yaitu seekor kambing, atau sepertujuh onta/sapi.

[44] Bagi yang melakukan haji Tamattu' atau Qiran, dan ia tidak mampu menyembelih binatang kurban, maka ia diwajibkan untuk berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila telah pulang ke keluarganya.

[45] Puasa tiga hari itu lebih utama dilakukan sebelum Hari Arafah, agar pada Hari Arafah itu ia dalam keadaan tidak berpuasa. Jika puasa itu belum dilakukan makan hendaklah dilakukan pada hari-hari Tasyriq.

[46] Puasa tiga hari tersebut boleh dilakukan secara berturut-turut atau terpisah-pisah. Begitu pula puasa yang tujuh hari.

[47] Tawaf Wada' hukumnya wajib bagi setiap jama'ah haji, kecuali bagi wanita yang sedang datang bulan atau baru bersalin.

[48] Disunahkan berziarah ke Masjid Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik sebelum haji ataupun sesudahnya.

[49] Bagi yang berziarah ke Masjid Nabawi, disunatkan memulai dengan shalat dua rakaat Tahiyat al-Masjid dimana saja di dalam Masjid. Dan yang lebih utama shalat dilakukan di Raudhah yang mulia.

[50] Ziarah ke kubur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ke pekuburan lain, hanya disyari'atkan untuk kaum pria, bukan untuk kaum wanita, dengan syarat agar dilakukan tanpa bersusah payah.

[51] Mengusap-ngusap dinding kubur Rasul, atau menciumnya ataupun mengelilinginya (bertawaf di sekitarnya), adalah perbuatan bid'ah yang mungkar, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama Salaf. Lebih-lebih apabila ia mengelilinginya dengan maksud mendekatkan diri kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal itu adalah syirik besar.

[52] Tidak boleh bagi seseorang memohon kepada Rasul agar beliau memenuhi hajatnya atau melepaskan dirinya dari kesulitan, sebab hal itu syirik.

[53] Kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, didalam kubur adalah kehidupan alam barzakh, bukan seperti hidup di dunia sebelum wafatnya. Dan kehidupan itu hanya Allah saja yang mengetahui hakekat dan keadaannya.

[54] Mengutamakan berdo'a didekat kubur Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, sambil menghadap kearahnya dengan mengangkat kedua belah tangan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penziarah, adalah termasuk bid'ah yang diada-adakan.

[55] Ziarah ke kubur Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukanlah wajib, dan bukan merupakan suatu syarat dalam ibadah haji, sebagaimana anggapan sebagian orang awam.

[56] Hadits-hadits yang dipergunakan sebagai dasar hukum oleh orang-orang yang membolehkan untuk bersusah-payah mendatangi kubur Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hadits-hadits yang lemah sanadnya atau hadits-hadits bikinan.


[Disalin dari buku Petunjuk Jamaah haji dan Umrah serta Penziarah Masjid Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, pengarang Kumpulan Ulama, hal 46-51. Diterbitkan dan diedarkan oleh Department Agama, Waqaf, Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia]

Seguir leyendo...

Orang Yang Diperbolehkan Melewati Miqat Tanpa Ihram Dan Ihram Yang Datang Lewat Udara Dan Laut

Orang Yang Diperbolehkan Melewati Miqat Tanpa Ihram Dan Ihram Yang Datang Lewat Udara Dan Laut


ORANG-ORANG YANG DIPERBOLEHKAN MELEWATI MIQAT TANPA IHRAM


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin






Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Siapakah yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan melewati miqat tanpa ihram ? Dan apa yang harus dilakukan bagi orang yang melewati miqat tanpa ihram ?

Jawaban
Dalam hadits shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan miqat bagi penduduk Madinah di Dzulhulaifah, bagi penduduk Syam di Juhfah, bagi penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Tempat-tempat miqat tersebut adalah bagi penduduk masing-masing dan bagi orang-orang yang datang ke tempat tersebut dari bukan penduduknya bagi orang-orang yang ingin haji dan umrah"

Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang melewati tempat-tempat miqat tersebut dan kedatangannya ke Mekkah untuk haji atau umrah maka dia wajib ihram pada tempat-tempat miqat tersebut. Tapi bila kedatangannya tidak ada niat untuk haji atau umrah, tapi untuk mengunjungi kerabat atau urusan khusus, sepeti tukang pos atau sopir, maka dia boleh melewati tempat-tempat miqat tanpa harus ihram.

Artinya, bahwa seseorang harus ihram pada miqat yang telah maklum jika datang ke Mekkah untuk haji atau umrah. Dan jika dia melewati miqat tanpa ihram maka dia harus kembali ke miqat untuk ihram disana. Dan jika seseorang turun di dari kappa terbang di Jeddah maka dia naik mobil ke miqat penduduk Najd (Qarnul Manazil) dan ihram dari tempat itu. Maka jika seseorang ihram dari Jeddah dan dia bertujuan haji dan atau umrah maka dia wajib membayar dam karena telah melewati miqat.


WAKTU IHRAM ORANG YANG DATANG KE MEKKAH LEWAT UDARA DAN LAUT


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin




Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Kapan waktu ihram bagi orang yang haji dan umrah yang datang lewat udara atau laut ?

Jawaban
Orang yang datang dari jalan-jalan udara dan laut harus ihram ketika sampai pada arah tempat miqat orang yang lewat jalan darat. Maka seseorang harus ihram di kapal terbang atau kapal laut jika sudah sampai tempat yang searah dengan miqat. Atau untuk kehati-hatian maka seyogianya telah ihram sebelum sampai tempat tersebut karena cepatnya perjalanan kapal terbang dan kapal laut.



[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustakan Imam Asy-Syafi'i hal 80 - 83. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

Seguir leyendo...

Mewakilkan Melontar Jumrah, Menggantikan Melontar Untuk Orang Sakit, Wanita Dan Anak Kecil

Mewakilkan Melontar Jumrah, Menggantikan Melontar Untuk Orang Sakit, Wanita Dan Anak Kecil


MEWAKILKAN MELONTAR JUMRAH


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan diperbolehkan mewakilkan melontar jumrah ? Apakah ada hari-hari yang tidak boleh mewakilkan melontar jumrah ?

Jawaban
Boleh mewakilkan dalam semua waktu dan tempat melontar bagi orang yang sakit yang tidak mampu melontar, orang hamil yang takut atas dirinya, wanita menyusui yang tidak mempunyai orang yang menjaga anaknya, orang yang berusia lanjut, dan lain-lain dari orang-orang yang tidak mampu melontar sendiri. Seperti orang tua boleh mewakilkan melontar untuk anaknya yang masih kecil. Bagi orang yang mewakili, dia melontar untuk dirinya dan untuk orang yang mewakilkan dalam setiap tempat melontar dengan memulai untuk dirinya kemudian melontar untuk orang yang diwakilinya. Kecuali jika orang yang melontar jumrah sunnah, maka dia tidak harus memulai melontar untuk dirinya. Tetapi tidak boleh mewakili melontar jumrah melainkan orang yang haji. Maka orang yang tidak haji tidak dapat mewakilkan orang lain untuk melontar dan tidak sah jika dia melontar untuk menggantikan orang lain.

MENGGANTIKAN MELONTAR JUMRAH UNTUK ORANG YANG MAMPU MELONTAR SENDIRI


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah mungkin bila seseorang menggantikan saya untuk melontar jumrah pada hari kedua tasyriq (12 Dzulhijjah) disebabkan kondisi keluarga yang mengharuskan saya kembali ke Riyadh pada hari itu, ataukah saya harus membayar dam untuk itu ?

Jawaban
Tidak boleh seseorang menggantikan melontar kepada orang lain dan bepergian sebelum rampung melontar. Bahkan dia wajib menunggu. Jika dia mampu maka dia melontar sendiri. Tapi jika dia tidak mampu melontar sendiri maka dia menunggu dan mewakilkan kepada orang yang akan menggantikannya. Seseorang yang mewakilkan melontar tidak boleh pergi hingga orang yang mewakilinya selesai dari melontar, kemudian dia (orang yang mewakilkan) melakukan thawaf wada' ke Baitullah, dan setelah itu baru boleh pulang.

Adapun jika seseorang dalam keadaan sehat maka dia tidak boleh mewakilkan melontar kepada orang lain, tapi dia wajib melontar sendiri. Sebab ketika dia telah melakukan ihram haji maka dia wajib menyelesaikan rukun-rukun haji seperti disebutkan dalam firman Allah.

"Artinya : Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah" [Al-Baqarah : 196]

Demikian pula umrah sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Seseorang yang telah ihram untuk umrah, dia wajib menyempurnakannya, sebab menurut pendapat yang shahih, seseorang tidak boleh mewakilkan sebagian rukun-rukun haji selama dia masih mampu melakukan sendiri. Jika seseorang pergi sebelum melontar, dia wajib membayar dam, yaitu memberikan makan kepada orang-orang miskin.


MENGGANTIKAN MELONTAR UNTUK ORANG SAKIT, WANITA, DAN ANAK KECIL


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah hukum mewakilkan melontar bagi orang yang sakit, perempuan dan anak kecil.

Jawaban
Tidak mengapa mewakilkan melontar bagi orang sakit, wanita yang lemah seperti wanita hamil atau gemuk yang tidak mampu melontar jumrah. Adapun wanita yang kuat dan gesit maka dia harus melontar sendiri, siapa yang tidak mampu melontar pada siang hari setelah matahari condong ke barat (waktu dzhuhur), maka dia melontar pada malam hari. Siapa yang tidak mampu melontar pada hari Idul Adha, dia melontar pada malam sebelas Dzulhijjah. Bagi orang yang tidak mampu melontar pada hari ke-11 Dzulhijjah, dia melontar pada malam ke-12 Dzulhijjah. Kemudian siapa yang tidak mampu melontar pada hari ke-12 Dzulhijjah atau terlewatkan melontar setelah matahari condong ke barat, dia melontar pada malam ke-13 Dzulhijjah. Waktu melomtar berkahir dengan terbitnya fajar. Adapun pada siang hari, maka tidak boleh melontar melainkan setelah tergelincirnya matahari ke barat pada hari-hari tasyriq.

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seorang wanita melaksanakan haji dan telah mengerjakan semua manasiknya kecuali melontar jumrah dan dia telah mewakilkan orang lain untuk melontar atas namanya karena dia mempunyai anak kecil, sedangkan dia melaksanakan haji wajib. Bagaimana hukumnya ?

Jawaban
Tidak mengapa dia mewakilkan melontar kepada orang lain. Dan melontarnya orang yang mewakilinya telah cukup baginya karena ketika melontar terjadi desak-desakan yang mengandung resiko besar bagi wanita, terutama bagi wanita yang membawa anak kecil.

CARA MELONTAR JUMRAH BAGI ORANG YANG MEWAKILI ORANG LAIN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seorang menggantikan bapak dan ibunya dalam melontar jumrah di samping melontar untuk dirinya sendiri, apakah dia wajib menentukan urutan dalam melontar ataukah dia bebas mendahulukan kepada siapa yang dia kehendaki ?

Jawaban
Jika seseorang menggantikan ibu dan ayahnya dalam melontar jumrah karena keduanya lemah fisiknya atau karena keduanya sakit, maka dia melontar untuk dirinya dulu lalu melontar untuk kedua orang tuanya, dan jika dia mendahulukan melontar untuk ibunya atas bapaknya maka lebih baik/utama. Sebab hak ibu lebih besar daripada hak bapak, dan jika sebaliknya, yakni memulai melontar untuk bapaknya atas ibunya maka tiada dosa. Namun dia tetap harus memulai melontar untuk dirinya sendiri, khususnya jika dia melontar wajib (karena dia haji wajib). Tapi jika dia melontar sunnah (karena melakukan haji sunnah), maka dia tidak mengapa bila dia memulai untuk dirinya sendiri atau memulai untuk kedua orang tuanya. Tapi jika memulai untuk dirinya sendiri adalah lebih utama dan lebih baik kemudian melontar untuk ibunya lalu melontar untuk ayahnya dalam satu tempat (jumrah 'aqabah) pada hari 'Id. Tapi pada selain hari Id, maka melontarnya setelah bergesernya matahari ke ufuk barat, dan melontar sebanyak duapuluh satu kali lontaran untuk tiga orang pada setiap tempat melontar ( ula, wustha dan aqabah,-pent). Jika dia mendahulukan sebagian lontaran atas sebagian yang lain, seperti mendahulukan melontar untuk ayahnya atas ibunya atau mendahulukan melontar untuk keduanya atas melontar untuk dirinya, maka dia tiada dosa baginya jika dia melontar sunnah. Tapi jika dia melontar jumrah wajib, maka dia wajib mendahulukan melontar untuk dirinya kemudian melontar untuk kedua orang tuanya.


[Disalin dai buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal. 140 - 146, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari, LC]

Seguir leyendo...

MELAKUKAN SENGGAMA SEBELUM TAHALLUL AWAL

Melakukan Senggama Sebelum Tahallul Awal, Mencium Istri Dan Keluar Sperma Sebelum Thawaf Ifadah
MELAKUKAN SENGGAMA SEBELUM TAHALLUL AWAL


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah orang yang melakukan senggama sebelum tahallul awal wajib mengulangi hajinya karena dia mengetahui bahwa hajinya adalah haji sunnah ?

Jawaban
Jika seseorang melakukan senggama sebelum tahallul pertama maka batal hajinya dan wajib mengqadha'nya setelah itu meskipun haji sunnah sebagaimana di fatwakan oleh para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian dia juga wajib menyembelih Unta dan dibagikan kepada orang-orang miskin Mekkah Al-Mukarramah, dan kepada Allah tempat mohon pertolongan


MELAKUKAN SENGGAMA SETELAH THAWAF IFADHAH


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika orang yang haji telah thawaf ifadhah, apakah halal baginya untuk melakukan senggama selama hari-hari tasyriq .?

Jawaban
Jika orang yang haji telah thawaf ifadhah maka tidak halal baginya menggauli istrinya kecuali dia telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam haji yang lain, seperti melontar jumrah 'aqabah dan mencukur atau memotong rambut disamping dia telah thawaf ifadhah. Jika demikian maka halal baginya melakukan senggama kepada istrinya, dan jika belum maka tidak boleh. Sebab thawaf satu-satunya tidak cukup. Tapi dia juga harus telah melontar jumrah pada hari i'ed dan mencukur/memotong rambut juga harus thawaf ifadhah dan sa'i jika wajib melakukan sa'i yaitu apabila dia mengambil haji tamattu'. Dengan ini maka halal baginya menggauli istrinya. Adapun tanpa hal-hal tersebut, maka tidak boleh. Akan tetapi jika telah melaksanakan dua dari tiga kewajiban haji, seperti melontar jumrah dan bercukur/memotong rambut maka dia diperbolehkan melakukan semua hal yang dilarang dalam ihram, seperti memakai pakaian berjahit, memakai parfum, memotong kuku, dan lain-lain, kecuali senggama dengan istri/suami. Demikian juga ketika dia telah melontar dan thawaf, maka halal baginya memakai baju biasa, memakai parfum, berburu, memotong kuku, dan lain-lain. Tapi tidak halal baginya melakukan senggama dengan istri kecuali jika telah melakukan tiga hal dari kewajiban haji, seperti melontar jumrah 'aqabah, mencukur/memotong rambut, dan thawaf ifadhah serta sa'i jika dia wajib sa'i yaitu bagi orang yang haji tamattu'. Setelag itu semua, maka halal baginya melakukan senggama dengan istri. Wallahu a'lam.


MENCIUM ISTRI DAN KELUAR SPERMA SEBELUM THAWAF IFADHAH


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta



Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang yang sedang haji jatuh dalam hal yang dilarang, yaitu mencium istri dengan syahwat dan mengeluarkan sperma setelah melontar jumrah 'Aqabah dan memotong rambut namun belum thawaf ifadah, sedang istrinya tidak haji' . Kewajiban apa yang harus dilakukan orang tersebut .?

Jawaban
Tidak boleh bagi seorang muslim yang sedang ihram haji atau umrah atau kedua-duanya untuk melakukan hal-hal yang merusak ihramnya atau mengurangi amalnya. Sebab mencium istri haram bagi orang yang sedang ihram haji hingga dia telah tahalul penuh, yaitu setelah melontar jumrah 'Aqabah, mencukur atau memotong rambut, thawaf ifadhah dan sa'i, jika dia wajib sa'i, karena dia masih dalam hukum ihram yang karenanya haram melakukan hubungan intim dengan istri. Namun tidak rusak haji orang yang mencium istrinya dan keluar sperma setelah tahalul awal. Hanya saja dia harus mohon ampunan kepada Allah dan tidak mengulangi perbuatannya yang sama juga wajib membayar kifarat. Yaitu menyembelih kambing yang memenuhi syarat untuk kurban dan dibagikan kepada orang-orang miskin di Mekkah. Kewajiban itu harus segera dilaksanakan jika mampu.


BERMIMPI BASAH (KELUAR SPERMA) KETIKA IHRAM


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Ketika kami memakai baju ihram pada tanggal 8 Dzulhijjah dan mabit di Mina saya bermimpi basah (keluar sperma), maka saya bingung karena jika saya mandi sebagian rambut saya rontok dan saya tahallul dari ihram. Dengan itu, maka saya melakukan dua larangan dalam ihram. Jika saya tayamum, saya tidak akan jatuh dalam kedua larangan ihram tersebut, tapi saya mengutamakan mandi atas tayamum. Apa hukum dalam apa apa yang saya lakukan tersebut ? Mohon penjelasan, semoga Allah memberikan pahala kepada Anda.

Jawaban
Bagi orang yang mimpi keluar sperma wajib mandi dan tidak sah baginya shalat dan thawaf dan juga tidak boleh membaca Al-Qur'an sebelum dia mandi. Maka hendaklah dia mandi walaupun sedang ihram, dan tidak mengapa seandainya ada beberapa rambut yang rontok ketika mandi. Sebab yang dilarang adalah menghilangkan rambut dengan sengaja, seperti dengan mecukur, memotong atau mencabut. Adapun mandi karena mimpi keluar sperma, maka wajib hukumnya dan harus membasuh kepala dan mensela-sela rambut, tapi tidak boleh berlebihan dalam menggosok kepala. Cukup baginya dengan menuangkan air ke kepala disertai menggerak-gerakkan rambut dengan tangan agar air dapat sampai ke kulit kepala. Sebab bagian bawah setiap rambut harus terkena air ketika mandi junub.

Adapun tahallul ihram, yakni melepas pakaian ihram maka bukan termasuk larangan dalam ihram, bahkan boleh melepas kain ihram ketika ada keperluan, seperti buang air besar. Juga diperbolehkan mengganti pakain ihram, baik selendang (maksudnya baju atasan ihram) maupun kain (maksudnya baju bawahan ihram) dengan pakaian ihram yang lain dan mencucinya jika kotor dan yang sepertinya, karena terdapat riwayat shahih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mandi ketika beliau sedang ihram, juga para sahabat. Wallahu a'lam


MIMPI BASAH TIDAK MEMBATALKAN HAJI


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta



Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya melaksanakan haji wajib, dan pada suatu malam ketika di Mina saya mimpi basah dan saya tidak dapat mandi. Apakah saya wajib membayar kifarat ?

Jawaban
Jika seseorang mimpi basah ketika sedang ihram haji atau umrah maka demikian itu tidak berpengaruh kepada hajinya dan juga terhadap umrahnya. Artinya, haji dam umrahnya tidak batal karena hal tersebut. Maka siapa yang mimpi basah ketika dalam ihram, dia wajib mandi janabat setelah bangun tidur, yaitu jika melihat sperma dan tidak wajib membayar fidyah. Sebab mimpi basah bukan atas kehendak sendiri.


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penysusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 123-130, penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Seguir leyendo...

Mabit Di Mina, Bermalam Diluar Mina Karena Tidak Tahu, Tidak Mendapatkan Tempat Di Mina

Mabit Di Mina, Bermalam Diluar Mina Karena Tidak Tahu, Tidak Mendapatkan Tempat Di Mina
Kategori Hajji Dan Umrah


MABIT (BERMALAM) DI MINA, MABIT DI LUAR MINA SEBAB PENUH SESAK


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika jama'ah haji tidak mendapatkan tempat untuk bermalam di Mina, apa yang harus dilakukan ? Dan apakah dia harus membayar kifarat jika dia bermalam di luar Mina ?

Jawaban
Jika jama'ah haji telah bekerja keras dalam mencari tempat di Mina untuk bermalam selama di Mina lalu tidak mendapatkannya maka tiada dosa atas dia jika singgah di luar Mina. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu" [At-Thagabun : 16]

Dan dia juga tidak wajib membayar kifarat. Sebab dia meninggalkan mabit di Mina karena di luar kemampuan.

BERMALAM DI LUAR MINA KARENA TIDAK TAHU

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seseorang bermalam (dua malam) dekat sekali dari Mina dan mengira telah bermalam di Mina. Tapi setelah itu nampak baginya bahwa tempat tersebut dekat dengan Mina dan bukan Mina. Dia mengetahui hal tersebut baru-baru ini setelah haji tahun lalu. Apa yang harus dia lakukan sekarang ?

Jawaban
Ia wajib kifarat, yaitu menyembelih kurban di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di Mekkah. Sebab dia meninggalkan kewajiban dalam haji tanpa alasan syar'i. Seharusnya ketika itu dia bertanya tentang Mina sehingga dapat bermalam di Mina. Adapun orang yang mencari tempat di Mina, lalu tidak mampu mabit di Mina maka dia tidak wajib kifarat. Sebab Allah berfirman.

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu" [At-Taghabun : 16]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya" [Al-Baqarah : 286]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika aku perintahkan kepadamu suatu perkara, maka lakukan dia menurut kemampuanmu" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Namun dikecualikan dari hal tersebut bagi orang yang berhalangan menurut syar'i sehingga dia tidak bermalam di Mina, seperti orang sakit, pengembala, dan pengambil air, Maka mereka tidak wajib membayar kifarat. Dan kepada Allah kita mohon pertolongan kebenaran.

YANG UTAMA DALAM MABIT DI MINA

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Dengan pertolongan Allah saya dapat haji bersama istri. Tapi pada hari-hari tasyriq kami berdua tidak duduk di Mina melainkan sampai jam satu malam, kemudian kami pergi dan bermalam di Mekkah karena kami mempunyai rumah di sana. Apakah demikian itu boleh ?. Mohon penjelasan, semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda.

Jawaban
Mabit di Mina sudah cukup bila lebih setengah malam, dan segala puji hanya bagi Allah. Untuk itu, kalian berdua tidak harus membayar kifarat. Tapi jika kalian tetap di Mina semalaman penuh selama hari-hari melontar maka demikian itu adalah yang utama karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya, semoga Allah meridhoi mereka. Dan kepada Allah kita mohon pertolongan kepada kebenaran

TIDAK MENDAPATKAN TEMPAT DI MINA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukum jama'ah haji yang tidak mendapatkan tempat di Mina pada hari-hari tasyriq, baik siang maupun malam ?

Jawaban
Jika mereka tidak mendapatkan tempat di Mina maka mereka bertempat di akhir kemah orang-orang yang haji walaupun di luar batas Mina. Sebab Allah berfirman.

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu" [At-Thagabun : 16]

BERMALAM DI LUAR MINA KARENA TIDAK TAHU

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya haji bersama keluarga pada tahun ini dan kami bermalam tiga hari di Mina, karena banyaknya orang yang haji, maka kami berpendapat untuk keluar dari Mina setelah hari kedua. Mohon penjelasan, apa dampak hal tersebut atas saya ?

Jawaban
Jika seseorang tidak mendapatkan tempat, maka anda tiada dosa. Tapi jika medapatkan tempat namun karena ceroboh, maka harus bertaubat kepada Allah. Jika kamu tidak bermalam di Mina dalam setiap malam, maka ulama mengatakan bahwa wajib membayar fidyah (menyembelih kurban) yang dibagikan kepada orangn-orang miskin di Mekkah. Dan jika anda tidak bermalam di Mina pada malam pertama tapi bermalam pada malam kedua, maka kamu wajib memberi makan orang miskin.

SYARAT BERMALAM DI MINA

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum orang yang bermalam di Mina sampai jam 12 malam kemudian masuk ke Mekkah dan tidak kembali hingga terbit fajar ?

Jawaban
Jika jam 12 malam adalah pertengahan malam di Mina maka tidak mengapa bila sesorang keluar darinya setelah jam tersebut. Meskipun yang utama adalah selalu di Mina siang dan malam. tapi jika jam 12 malam belum pertengahan malam maka belum boleh keluar darinya. Sebab dalam bermalam di Mina disyaratkan harus sebagian besar malam (lebih setengah malam) sebagaimana disebutkan ulama fikih kita, semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal 194 - 196, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Seguir leyendo...

Ihram Memakai Sandal Atau Kaos Kaki, Bulu Mata Rontok Ketika Mengusap Muka Setelah Berdo'a

Ihram Memakai Sandal Atau Kaos Kaki, Bulu Mata Rontok Ketika Mengusap Muka Setelah Berdo'a


IHRAM MEMAKAI SANDAL ATAU KAOS KAKI


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz





Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika orang yang ihram, baik laki-laki maupun perempuan memakai sandal atau kaos kaki karena tahu atau tidak tahu hukumnya atau karena lupa apakah ihramnya batal sebab hal tersebut ..?

Jawaban
Sesuai sunah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa orang laki-laki yang ihram adalah memakai sandal, Sebab terdapat riwayat shahih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Hendaklah seorang diantara kamu berihram dengan memakai kain dan selendang serta sandal" [Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Jarud]

Maka yang utama adalah bila laki-laki ihram dengan memakai sandal untuk menghindari duri, panas atau dingin. Tapi jika dia ihram tanpa memakai sandal maka tiada dosa atas dia. Dan jika dia tidak mendapatkan sandal maka dia boleh memakai sepatu but (khuf). Apakah dia harus memotong khuf itu sampai kedua mata kaki ataukah tidak ? Dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat ulama. Sebab terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak mendapatkan sandal, maka hendaklah dia memakai khuf dan harus memotongnya sampai mata kaki"

Sedangkan dalam khutbah di Arafah ketika haji wada'. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Barangsiapa tidak mendapatkan kain maka hendaklah dia memakai celana, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, maka hendaklah dia memakai khuf" [Muttafaqun 'alaih].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutkan perintah memotong khuf, dan sebagian ulama mengataka bahwa perintah yang pertama dihapuskan. Karenanya orang yang ihram boleh memakai sepatu but tanpa harus memotong sampai bawah mata kaki. Sebagian ulama mengatakan bahwa perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang pertama tidak dihapuskan, tapi menunjukkan sunnah dan tidak wajib dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diam atas hal tersebut ketika khutbahnya di Arafah.

Pendapat yang sangat kuat -insya Allah- adalah, bahwa perintah memotong khuf dihapuskan. Sebab dalam khutbah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Arafah yang dihadiri banyak manusia baik dari kota maupun desa yang mereka tidak menghadiri khutbah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah yang di dalamnya terdapat perintah memotong khuf. Jika memotong khuf hukumnya wajib atau diberlakukan niscaya beliau menjelaskan kepada manusia ketika khutbahnya di Arafah. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diam dari menyebutkan perintah memotong khuf ketika khutbahnya di Arafah, maka menunjukkan bahwa perintah memotong khuf dihapuskan dan Allah memaafkan serta memberikan kelonggaran kepada hamba-Nya dari memotong khuf karena di dalamnya terdapat unsur pengrusakan terhadap khuf. Wallahu 'alam.

Adapun bagi wanita maka tiada dosa padanya jika memakai khuf atau kaos kaki. Sebab kaki wanita adalah aurat. Tetapi wanita dilarang dua hal, yaitu memakai cadar dan kaos tangan. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang hal tersebut. Beliau bersabda.

"Artinya : Janganlah wanita bercadar dan janganlah dia memakai kaos tangan" [Hadits Riwayat Bukhari, Tirmidzi, dan Nasa'i]

Sedangkan cadar adalah sesuatu yang dibuat untuk muka. Maka dia tidak boleh memakai cadar ketika sedang ihram. Akan tetapi dia diperbolehkan menutup mukanya dengan apa saja yang dikehendaki selain cadar ketika ada kaum lelaki yang bukan mahramnya, sebab muka wanita adalah aurat. Jika dia jauh dari laki-laki, maka dia membuka wajahnya. Sebagaimana wanita juga tidak boleh memakai kaos tangan yang dibuat untuk menutup kedua tangan. Tapi wanita boleh menutupi kedua tanganya dengan selain kaos tangan.


RAMBUT RONTOK DARI KEPALA ORANG YANG IHRAM


Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil ifta



Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil ifta ditanya : Apa yang harus dilakukan oleh wanita yang sedang ihram jika terdapat rambutnya yang rontok dengan tidak disengaja ?

Jawaban
Jika terdapat rambut rontok dari kepala orang yang berihram, baik laki-laki maupun perempuan ketika dia mengusap kepala saat berwudhu atau ketika mandi maka tidak ada sangsi baginya. Demikian pula jika seseorang rontok jenggot atau kumisnya atau terlepas sebagian kuku. Dalam hal-hal tersebut tidak ada sangsi atas dia jika tidak dilakukan dengan sengaja. Sesungguhnya yang dilarang adalah jika seseorang sengaja mencabut rambut atau memotong kukunya ketika dia sedang ihram. Sebab rambut yang rontok dengan tanpa sengaja adalah rambut mati yang akan jatuh karena gerakan. Maka tidak ada sangsi karena itu.

BULU MATA RONTOK KETIKA MENGUSAP MUKA SETELAH BERDO'A


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya melaksanakan haji dua tahun lalu dan hal ini baru yang pertama kali. Pada hari 'Arafah saya berdo'a kepada Allah dan mata saya memerah karena menangis. Dan ketika selesai berdo'a saya mengusap muka dan air mata saya dengan kedua tangan saya. Dan tiba-tiba saya melihat di tangan terdapat dua bulu mata yang rontok, tapi demikian itu bukan karena saya sengaja. Apakah dengan itu saya harus membayar fidyah ?

Jawaban
Semoga Allah menerima amal kita dan anda serta melipatkan pahala anda atas kesungguhan anda dalam beribadah khusyu' dalam berdo'a dan beramal yang anda lakukan semata-mata karena Allah. Adapun yang anda sebutkan tentang rontoknya bulu mata, maka anda tidak wajib membayar fidyah karena anda tidak sengaja untuk itu. Sebab Allah mema'afkan sesuatu karena khilaf dan lupa. Semoga Allah memberikan taufiq kepada anda dalam kebaikan.


TIDAK BERDOSA KARENA LUPA


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seseorang ihram umrah dan dia mempunyai kebiasaan (iseng) memainkan rambutnya ketika dia berfikir, lalu dia melakukan hal tersebut karena lupa ketika sedang berihram sehingga jatuh sebagian rambutnya. Apakah dia wajib membayar fkifarat ?

Jawaban
Ia tidak wajib membayar kifarat karena firman Allah tentang orang-orang mukmin bahwa mereka berkata.

"Artinya : Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah" [Al-Baqarah : 286]

Dan Allah mengabulkan do'a mereka, karena terdapat riwayat shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Allah berfirman : "Sungguh Aku telah melakukan". [Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya]


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penysusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 123-130, penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc.]

Seguir leyendo...

Ihram, Talbiyah Dan Mandi Ihram Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam

Ihram, Talbiyah Dan Mandi Ihram Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam


IHRAM, TALBIYAH, DAN MANDI IHRAM NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta





Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram dan mandi dari Madinah Al-Munawwarah ?

Jawaban
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram dari Dzulhulaifah. Maksudnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam talbiyah haji dan umrah dari Dzulhulaifah dan tidak dari Madinah. Demikian itu karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan beberapa tempat miqat untuk haji dan umrah, yaitu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan Dzulhulaifah sebagai miqat bagi penduduk Madinah. Sebab tidak mungkin bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan hukum sesuatu lalu beliau melanggarnya. Hal ini terdapat dalam riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu, ia berkata :

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan miqat bagi penduduk Madinah di Dzulhulaifah, bagi penduduk Syam di Juhfah, bagi penduduk Najd di Qarnul Manazil, bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Dan beliau berkata : "Tempat-tempat miqat ini bagi masing-masing penduduk tersebut dan bagi orang-orang yang melewatinya dari selain penduduknya, yaitu bagi orang yang haji dan umrah. Barangsiapa yang lebih dekat (ke Mekkah) dari tempat-tempat (miqat) tersebut maka (miqatnya) dari mana dia berada, hingga bagi penduduk Mekkah (maka miqatnya) dari Mekkah" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Dan diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar -semoga Allah meridhai mereka- bahwa dia mendengar bapaknya berkata :

"Artinya : Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak talbiyah melainkan dari samping masjid, yakni masjid Dzulhulaifah" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mandi di Dzulhulaifah. Di mana terdapat riwayat dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit dari ayahnya bahwa dia (ayahnya) melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melepas baju untuk talbiyahnya dan mandi. [Hadits Riwayat Tirmidzi]

Shalawat dan salam kepada Nabi kita Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

LEBIH UTAMA MANDI SEBELUM IHRAM


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seseorang yang ingin haji berangkat dari Mekkah ke Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah dan dia mandi ketika di Mina, apakah demikian itu cukup baginya, dan apa kewajiban yang harus dilakukan ?

Jawaban
Jika seseorang yang ingin haji mandi di Mina, maka dia tidak berdosa dalam demikian itu. Tapi yang utama adalah sebelum ihram dia mandi di rumah atau tempat mana saja di Mekkah kemudian dia ihram untuk haji di rumahnya dan tidak harus pergi ke Masjidil Haram untuk thawaf. Sebab orang yang akan pergi ke Mina pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah), maka dia tidak wajib thawaf wada'. Jika seorang ihram tanpa mandi, maka dia tidak berdosa. Lalu jika mandi di Mina ketika dia telah ihram maka juga tidak mengapa. Tapi yang utama dan sunnah adalah jika dia mandi sebelum ihram. Jika tidak mandi (ihram tanpa mandi) atau hanya wudhu saja, maka dia tidak berdosa dalam demikian itu. Sebab mandi ketika ihram hukumnya sunnah, demikian pula wudhu.


[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustakan Imam Asy-Syafi'i hal 80 - 83. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

Seguir leyendo...

Hukum Ihram Dari Jeddah Bagi Orang Yang Haji Dengan Pesawat Terbang, Mengakhirkan Ihram Di Jeddah

Hukum Ihram Dari Jeddah Bagi Orang Yang Haji Dengan Pesawat Terbang, Mengakhirkan Ihram Di Jeddah


HUKUM IHRAM DARI JEDDAH BAGI ORANG YANG HAJI DENGAN PESAWAT TERBANG


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz





Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang haji dari suatu negara dan kapal terbang landing di bandara Jeddah dan dia baru ihram ketika di Jeddah ?. Dan apa yang kewajiban dia ?

Jawaban
Jika kapal terbang landing di Jeddah dan orang yang haji dari negeri Syam atau Mesir, maka dia ihram di Rabigh. Ia pergi ke Rabigh dengan mobil atau kendaraan lain dan dia ihram dari sana dan tidak dari Jeddah. Dan jika seseorang dari Najd dan dia belum ihram hingga turun di Jeddah maka dia pergi ke Al-Syal yaitu Wadi Qarn atau Qarnul Manazil dan ihram dari sana. Tapi jika seseorang ihram dari Jeddah dan tidak pada tempat miqat yang telah maklum, maka dia wajib membayar dam satu kambing yang cukup untuk berkurban atau sepertujuh unta atau sapid an dipotong di Mekkah serta disedekahkan untuk orang-orang miskin.


JEDDAH BUKAN TERMASUK MIQAT BAGI ORANG-ORANG DARI LUAR JEDDAH


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta


Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Sebagian ulama memfatwakan kepada orang yang haji lewat udara agar ihram di Jeddah, tapi sebagian yang lain menolak pendapat tersebut. Bagaimanakah pendapat yang benar dalam masalah ini ? Mohon penjelasan.

Jawaban
Yang wajib bagi semua jama'ah haji, baik yang datang lewat udara, laut maupun darat, adalah ihram di miqat yang mereka lewati berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menentukan beberapa tempat miqat.

"Artinya : Tempat-tempat miqat ini bagi penduduk masing-masing dan bagi orang-orang yang melewatinya dari mereka yang bukan penduduknya, yaitu bagi orang-orang yang ingin haji dan umrah" [Mutafaqun 'ALaih]


MENGAKHIRKAN IHRAM SAMPAI DI JEDDAH

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta



Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seorang ingin haji atau umrah dan dia telah memakai baju ihram di pesawat, tapi dia tidak mengerti tempat miqat. Apakah dia boleh mengahirkan ihram jika sampai ke Jeddah atau tidak ?

Jawaban
Jika seseorang ingin haji atau umrah lewat udara maka hendaknya dia mandi di rumahnya, memakai kain dan selendang pergi ke Jeddah dan ihram di sana, maka anda salah karena melewati miqat untuk penduduk Madinah tanpa ihram. Karena itu hendaklah anda memohon ampunan kepada Allah dan tidak mengulangi lagi yang sepertinya dan anda wajib membayar dam dengan membeli kambing yang memenuhi syarat dalam berkurban karena anda melewati miqat tanpa ihram. Kambing itu disembelih untuk dibagikan kepada fakir miskin tanah haram dan anda tidak boleh makan sedikitpun juga darinya.


[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustakan Imam Asy-Syafi'i hal 80 - 83. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

Seguir leyendo...

Hukum Haji Bagi Orang Yang Tidak Shalat, Orang Meinggal Tidak Shalat Tidak Boleh Digantikan Hajinya

Hukum Haji Bagi Orang Yang Tidak Shalat, Orang Meinggal Tidak Shalat Tidak Boleh Digantikan Hajinya


HUKUM HAJI BAGI ORANG YANG TIDAK SHALAT


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz





Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum haji orang yang tidak shalat karena sengaja atau karena meremehkannya .?

Jawaban.
Barangsiapa yang haji dan dia meninggalkan shalat, jika dia meninggalkannya karena mengingkari wajibnya shalat maka dia kufur dengan ijma ulama. Karena itu hajinya tidak sah baginya. Adapaun orang yang meninggalkan shalat karena meremehkan maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Sebagian ulama mengatakan, bahwa haji orang tersebut sah. Tapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa haji orang tersebut tidak sah. Dan pedapat yang kedua ini adalah yang benar. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Maka siapa yang meninggalkan shalat sesungguhnya dia telah kafir" [Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Hibban dan Hakim]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Batas antara seseorang dengan kekafiran dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat" [Hadits Riwayat Muslim dan lainnya]

Kedua dalil tersebut memberikan pengertian umum kepada orang yang tidak shalat karena mengingkari kewajiban shalat dan juga kepada orang yang meninggalkan shalat karena meremehkan. Wallahu a'lam.


ORANG YANG MENINGGAL DALAM KEADAAN TIDAK SHALAT TIDAK BOLEH DIGANTIKAN HAJINYA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya mempunyai kerabat yang meninggal pada bulan Ramadhan. Tapi sebelum meninggal dia meremehkan dalam menjalankan shalat dan dalam menunaikan zakat serta belum haji sama sekali. Apakah boleh menggantikan dia berhaji dan dalam membayar zakat ?

Jawaban
Jika seseorang terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya maka tidak boleh digantikam hajinya dan dikeluarkan zakat hartanya, dan kerabatnya yang muslim tidak dapat mewarisi hartanya. Bahkan harta peninggalannya diserahkan ke Baitul Mal kaum muslimin. Sebab meninggalkan shalat adalah kufur terbesar. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Maka siapa yang meninggalkan shalat sesungguhnya dia telah kafir" [Hadits Riwayat Ahmad dan Ashabus Sunnah dengan sanad shahih]

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Antara seseorang dan kekafiran dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat" [Hadits Riwayat Muslim]
Juga dalil-dalil lain dari Al-Qur'an dan Sunnah yang menunjukkan apa yang telah kami sebutkan.

Kami memohon kepada Allah semoga Allah memperbaiki kondisi kaum muslimin dan memberikan taufiq kepada mereka dalam menjaga shalat, istiqamah dam menegakkannya dan menghindari sebab-sebab meninggalkannya. Sesungguhnya Allah Mahapemurah lagi Mahamulia



[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal. 50 - 54, penerjemah H.Asmuni Solihan Jamakhsyari Lc.]

Seguir leyendo...

Hal Yang Harus Dijauhi Dalam Ihram, Yang Dilarang Dalam Ihram, Melanggar Larangan Ihram Karena Lupa

Hal Yang Harus Dijauhi Dalam Ihram, Yang Dilarang Dalam Ihram, Melanggar Larangan Ihram Karena Lupa


HAL-HAL YANG HARUS DIJAUHI DALAM IHRAM


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz





Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah hal-hal yang harus dijauhi oleh orang yang sedang berihram ?

Jawaban
Orang yang sedang ihram harus menjauhi sembilan hal yang telah dijelaskan ulama, yaitu : memotong rambut, memotong kuku, memakai parfum, memakai baju berjahit, menutup kepala, membunuh binatang buruan, bersetubuh, akad nikah, dan menyentuh istri. Semua hal tersebut harus dijauhi oleh orang yang sedang ihram hingga tahallul, dan dalam tahallul awal diperbolehkan melakukan semua hal yang terlarang tersebut selain hubungan sebadan dengan istri/suami. Namun jika telah tahallul kedua maka melakukan hubungan sebadan suami-istri halal baginya.


HAL-HAL YANG DILARANG DALAM IHRAM DAN BAGIAN-BAGIANNYA


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah hal-hal yang wajib dijauhi oleh orang yang sedang ihram dan bagian-bagiannya ?

Jawaban
Adapaun hal-hal yang dilarang ketika ihram ada sembilan hal :

[1]. Memotong atau mencabut rambut dari kepala atau badan
[2]. Memotong kuku dari tangan atau kaki.
[3]. Memakai kain berjahit bagi laki-laki, yaitu setiap pakaian yang di jahit menurut ukuran anggota badan, seperti qamis, celana, jubah, kaos, peci, topi, dan lain-lain.
[4]. Menutup kepala dengan hal-hal yang menyentuh kepala sepeti sorban dan peci. Lain halnya payung, kemah dan membawa barang di atas kepala, maka demikian itu tidak dilarang.
[5]. Memakai parfum, yaitu setiap hal yang berbau wangi dengan tujuan memakainya di baju atau di badan, seperti misik, mawar, rayhan, dan minyak wangi yang lain.
[6]. Bertujuan memburu binatang darat yang lepas, seperti burung merpati, kijang dan lain-lain.
[7]. Melakukan akad nikah. Maka orang yang ihram tidak boleh meminang, menikah, menjadi wali nikah, dan lain-lain.
[8]. Bersetubuh dengan istri.
[9]. Bercumbu dengan istri/suami, seperti meraba-raba, mencium dan lain-lain.

Sembilan hal tersebut dikelompokkan dalam empat bagian.

Pertama : Harus membayat fidyah, tapi tidak membatalkan ibadah (haji atau umrah), yaitu bagi lima hal yang pertama.
Kedua : Ada denda yang setimpal, yaitu berburu.
Ketiga : Membatalkan ibadah dan tidak harus membayar fidyah, yaitu akad nikah.
Keempat : Tidak membatalkan ibadah tapi harus membayar dam, yaitu bersentuhan kulit (bercumbu) dengan syahwat. Bersetubuh dengan istri ?


MELANGGAR LARANGAN IHRAM KARENA TIDAK TAHU ATAU LUPA


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa hukum orang yang melakukan sesuatu dari sembilan yang dilarang dalam ihram karena tidak tahu atau lupa ?

Jawaban
Barangsiapa mencabut rambut atau memotong kuku karena lupa maka tiada dosa baginya dan tiada wajib membayar fidyah. demikian pula orang yang memakai parfum atau menutup kepala atau memakai pakaian berjahit karena lupa. Sebab Allah tidak akan menuntut demikian itu seperti disebutkan dalam firman-Nya.

"Artinya : Ya, Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah" [Al-Baqarah : 286]

Dimana dalam hadits shahih disebutkan bahwa Allah menjawab do'a tersebut seraya berfirman : "Sungguh Aku telah melakukan".

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman :

"Artinya : Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" [Al-Ahzab : 5]

Dalam hadits disebutkan :

"Artinya : Diampuni umatku karena khilaf dan lupa" [Hadits Riwayat Ibnu 'Ady]

Adapun membunuh binatang buruan maka semua ulama menetapkan hukum padanya dan tidak menanyakan apakah kamu sengaja atau karena khilaf. Dan barangkali yang benar adalah bahwa demikian itu tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah atas manusia jika karena tidak tahu. Sebab Allah berfirman.

"Artinya : Barangsiapa di antara kamu membunuh dengan sengaja maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka'bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa" [Al-Maidah : 95]

Adapun akad nikah maka tidak sah hukumnya walaupun karena tidak tahu, tapi tidak wajib membayar fidyah. Sedangkan bersetubuh dan bercumbu dengan syahwat, maka menurut jumhur ulama wajib membayar fidyah meskipun karena lupa. Sebab hal tersebut merupakan larangan ihram yang paling masyhur dan dilakukan dua orang sehingga tidak mungkin jika dilakukan karena lupa. Dan demikian itu adalah yang paling hati-hari. Tapi menurut sebagian ulama hal tersebut dima'afkan jika dilakukan karena tidak tahu atau lupa. Wallahu 'alam.


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbiatan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal. 110 - 115 Penerjemah H.ASmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

Seguir leyendo...

Haji Wajib Dilaksanakan Segera, Syarat-Syarat Wajib Haji, Kewajiban-Kewajiban Dalam Haji

Haji Wajib Dilaksanakan Segera, Syarat-Syarat Wajib Haji, Kewajiban-Kewajiban Dalam Haji


HAJI WAJIB DILAKSANAKAN SEGERA


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin




Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Kapan haji di wajibkan ? Dan apakah dalil wajibnya haji menunjukkan harus segera dilaksanakan, ataukah boleh ditunda .?

Jawaban.
Menurut riwayat yang shahih, haji diwajiban pada tahun 9H, Yaitu, pada saat banyaknya delegasi yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang pada saat itu diturunkan suart Ali-Imran yang di dalamnya termaktub firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban menusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah" [Ali-Imran : 97]

Ayat ini sebagai dalil wajibnya haji untuk dilaksanakan dengan segera, sebab perintah mempunyai pengertian harus segera dilaksanakan. Bahkan Imam Ahmad dan ashabus sunan meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Bersegeralah berhaji -yakni haji yang wajib-, sebab sesungguhnya seseorang tidak mengetahui apa yang akan menimpa kepadanya" [Hadits Riwayat Ahmad dan lainnya]

Dalam riwayat yang lain dsiebutkan.
"Artinya : Barangsiapa ingin haji, maka hendaklah dia melakukannya dengan segera. Sebab boleh jadi dia nanti sakit, kendaraannya hilang, dan ada keperluan baru" [Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah]

Tapi Imam Syafi'i berpendapat bahwa kewajiban haji tidak harus segera dilakukan. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan haji hingga tahun ke 13H. Namun pendapat Imam Syafi'i ini dijawab, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengakhirkan haji melainkan hanya dalam satu tahun karena beliau ingin membersihkan Baitullah dari orang-orang musyrik dan hajinya orang-orang yang telanjang serta dari segala bentuk bid'ah. Maka ketika Baitullah telah suci dari hal-hal tersebut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan haji pada tahun berikutnya. Atas dasar ini, maka haji harus segera dilakukan karena takut ajal tiba sehingga orang yang telah wajib haji dan tidak segera melaksanakan termasuk orang-orang yang ceroboh karena menunda-nunda kewajiban yang telah mampu dilakukan. Sebab terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang telah memiliki bekal dan kendaraan lalu dia tidak haji, maka bila mati silahkan mati sebagai Yahudi atau orang Nashrani" [Hadit Riwayat Tirmidzi dan Aly]

[Sanad hadits ini Dha'if (lemah) dilemahkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dalam Dha'if Jami'us Shagir No. 5860 dan Misykat No. 2521]

SYARAT-SYARAT WAJIB HAJI

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah syarat-syarat haji .?

Jawaban.
Syarat wajibnya haji ada lima, yaitu : Islam, berakal, baligh, merdeka, dan mampu.

Maka orang kafir tidak sah hajinya dan tidak akan di terima oleh Allah jika melakukannya, karena mereka tidak termasuk dalam persyaratan. Dan Islam sebagai syarat utama dalam semua ibadah. Dan bagi orang yang gila, maka dia tidak wajib haji. Tapi jika dia melakukan haji, maka hajinya tidak sah. Sedang anak kecil yang belum baligh, maka hajinya sah dan walinya mendapatkan pahala karena menghajikan anaknya. Tapi haji anak kecil tidak menjadikan gugur kewajiban haji baginya ketika dia telah baligh. Lalu bagaimana bagi hamba sahaya, maka dia tidak wajib haji karena dia mempunyai kewajiban melayani tuannya. Tapi bila dia haji, maka hajinya sah dan mendapatkan pahala atas hajinya.

Adapun yang dimaksud mampu dalam syarat-syarat wajib haji, maka sesungguhnya Allah hanya mewajibkan haji bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan yang dimaksud mampu adalah memiliki bekal dan ada kendaraan yang layak untuk haji setelah dia memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk diri dan keluarganya hingga dia kemabli haji.

Syarat-syarat tersebut bersifat umum. Dan terdapat sebagian ulama yang menambahkan syarat keenam, yaitu kondisi aman dalam perjalanan. Barangkali syarat ini masuk dalam kategori kemampuan melakukan perjalanan. Juga terdapat syarat lain khusus bagi wanita, yaitu harus ada mahram yang mendampingi.

KEWAJIBAN ORANG YANG INGIN HAJI

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin ditanya : Apa yang harus dilakukan bagi orang yang ingin pergi haji dan umrah ?

Jawaban.
Barangsiapa bertujuan melakukan perjalanan panjang untuk haji atau yang lainnya maka :

[1] Harus membayar utangnya atau minta izin orang-orang yang memberikan piutang, jika dia mengetahui mereka telah membutuhkan sesuatu yang diutangkan. Kemudian menuliskan wasiat-wasiat dan harta miliknya yang terdapat pada orang lain dan hutang-hutangnya yang harus ia bayar.

[2] Melakukan shalat istikharah seraya berdo'a kepada Allah untuk diberikan-Nya pilihan terbaik, dan dia melaksanakan apa yang menjadikan kelapangan dadanya.

[3] Memilih kawan-kawan yang shaleh dari orang-orang yang berilmu dan pandai dalam agama

[4] Membawa buku-buku tentang ibadah haji, atau buku lainnya yang berguna bagi dirinya dan kawan-kawannya. Juga membawa bekal yang cukup untuk dirinya atau kawan-kawannya, jika perlu, seraya memperhatikan bahwa segala bekal yang digunakan untuk haji benar-benar dari hasil yang halal.

[5] Berpamitan kepada keluarga dan kawan-kawan ketika akan berangkat gaji seraya masing-masing mengucapkan : "Artinya : Aku titipkan kepada Allah agama dan amanatmu, serta segala akhir amalmu" [Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi]

[6] Niat melakukan haji dan umrah karena Allah. dan tidak terpengaruh pujian atau kecaman siapa pun.

[7] Selama dalam perjalanan pergi dan pulangnya selakukan melakukan kewajiban-kewajiban agama dan ibadah-ibadah sunnah juga memberikan nasehat kepada kawan-kawannya dan menyerap ilmu dari orang-orang yang pandai.

[8] Berupaya keras menyempurnakan kewajiban-kewajiban haji dan umrah, serta memperbanyak amal shaleh yang mampu dilakukan karena ingin mendapatkan pahala berlipat ganda dari Allah Subhanahu wa Ta'ala

Wallahu a'lam

KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DALAM HAJI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa yang wajib dilakukan setiap Muslim ketika haji ? Apakah dia boleh melakukan hal-hal yang diluar manasik haji ?

Jawaban.
Setiap muslim yang mengerjakan haji wajib meperhatikan hal-hal yang diwajibkan Allah kepadanya, seperti selalu shalat lima waktu dengan berjama'ah, memerintahkan kepada kebaikan, melarang kemungkaran, menyerukan kepada jalan Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik, serta menghindari segala hal yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah berfirman.
"Artinya : Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji" [Al-Baqarah : 197]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa haji dan dia tidak rafats dan tidak berbuat fasik, maka dia kembali seperti hari dilahirkan ibunya" [Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Nasa'i dan Ibnu Majah]

Adapun maksud rafats bersengggama ketika dalam ihram dan hal-hal yang mengarah kepadanya, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sedangkan fasik adalah semua perbuatan maksiat, karena kewajban setiap muslim harus selalu bertaqwa kepada Allah, melaksanakan apa yang diwajibkan Allah dan menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, maka jika seseorang sedang di tanah suci dan melaksanakan ibadah haji, kewajiban Allah kepadanya menjadi lebih besar dan lebih berat, dan dosa melakukan apa yang diharamkan Allah juga menjadi lebih besar dan lebih berat atas dia.

Tapi orang yang sedang haji boleh melakukan jual-beli dan hal-hal lain, berupa ucapan dan perbuatan yang dihalalkan Allah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu" [Al-Baqarah : 198]

Ibnu Abbas dan lainnya dalam menafsirkan ayat ini berkata : "Yakni pada musim haji" Dan demikian itu merupakan anugerah, rahmat, keringanan, dan kebaikan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sebab orang yang haji terkadang membutuhkan hal tersebut, dan adalah Allah selalu memberikan pertolongan kepada kebenaran.


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal. 35 - 44, penerjemah H.Asmuni Solihan Zamkhsyari, Lc.]

Seguir leyendo...

Haidh Sebelum Thawaf Ifadhah Dan Tidak Dapat Tetap Tinggal Di Mekkah,Wanita Haid Duduk Di Tempat Sai

Haidh Sebelum Thawaf Ifadhah Dan Tidak Dapat Tetap Tinggal Di Mekkah,Wanita Haid Duduk Di Tempat Sai


HAIDH SEBELUM THAWAF IFADHAH DAN TIDAK DAPAT TETAP DI MEKKAH HINGGA SUCI


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita haidh sebelum thawaf ifadhah dan dia berasal dari luar Suadi Arabia, yang waktu kepulangannya telah tiba dan tidak dapat ditunda serta mustahil kembali lagi ke Saudi Arabia. Bagaimana hukum dalam hal yang demikian ini ?

Jawaban
Jika seorang wanita haidh sebelum thawaf ifadhah dan tidak dapat tinggal di Mekkah atau kembali lagi ke Mekkah kalau dia pulang sebelum thawaf ifadhah, maka dia boleh memilih salah satu dari dua hal, yaitu suntik untuk menghentikan darah haidh lalu dia thawaf, atau menyumbat darah haidh sehingga darahnya tidak menetes di masjid dan dia thawaf karena dharurat. Pendapat yang kami sebutkan ini adalah pendapat yang kuat dan dipilih oleh syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Tapi juga ada pendapat lain yang berbeda dengan pendapat tersebut, yaitu dengan memberikan pilihan salah satu dari dua hal. Pertama, dia tetap dalam ihram. Tapi suaminya tidak boleh menggaulinya, dan dia sendiri tidak boleh melakukan akad nikah jika belum bersuami. Kedua, dinilai terlarang menyempurnakan haji, yang karena itu maka dia wajib menyembelih kurban dan dia tahallaul dari ihramnya. Dalam kondisi ini dia dinilai belum haji. Dan masing-masing kedua hal dari pendapat kedua ini sangat sulit.

Maka pendapat yang kuat adalah pendapat Syaikh Ibnu Taimiyah Rahinahullah. Sebab kondisi seperti itu dalam keadaan dharurat, sedangkan Allah telah berfirman.

"Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" [Al-Hajj : 78]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]

Adapun jika wanita tersebut memungkinkan kembali lagi ke Mekkah ketika dia telah suci, maka tiada mengapa bila dia pergi ke Mekkah untuk thawaf ifadhah. Tapi dalam masa menunggu tersebut suaminya tidak halal untuk menggaulinya karena dia belum tahallul kedua.


WANITA HAIDH DUDUK DI TEMPAT SA'I


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah wanita yang haidh boleh duduk di tempat sa'i ?

Jawaban
Ya. bagi wanita yang sedang haidh boleh duduk di tampat sa'i. Sebab tempat sa'i tidak termasuk Masjidil Haram. Maka jika seorang wanita haidh setelah thawaf dan sebelum sa'i, dia boleh sa'i. Sebab melakukan sa'i tidak disyari'atkan harus dalam keadaan suci seperti thawaf. Atas dasar ini, kami mengatakan bahwa wanita yang haidh jika duduk di tempat sa'i untuk menunggu keluarganya maka tiada dosa atas dia karena hal itu


HAIDH SEBELUM UMRAH DAN TIDAK MEMUNGKINKAN TINGGAL DI MEKKAH HINGGA SUCI


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta



Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seorang wanita datang ke Mekkah dengan niat ihram umrah dan ketika sampai di Mekkah dia haidh dan suaminya harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai mahram di Mekkah. Apa hukumnya ?

Jawaban
Jika seorang wanita haidh ketika sudah ihram dan belum thawaf sedangkan suaminya harus segera meninggalkan Mekkah dan dia tidak mempunyai mahram di Mekkah, maka gugur darinya syarat suci dari haidh untuk masuk masjid dan thawaf karena darurat, maka dia menyumbat kemaluannya lalu thawaf dan sa'i untuk umrahnya. Kecuali dia dapat kembali lagi ke Mekkah bersama suami atau mahramnya karena dekatnya jarak dan murahnya biaya, maka dia kembali lagi langsung ketika suci dari haidhnya untuk thawaf dan sa'i dalam keadaan suci. Sebab Allah berfirman.

"Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" [Al-Baqarah : 286]

"Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kami dalam agama suatu kesempitan" [Al-Hajj : 78]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika aku memerintahkan kamu suatu perkara maka lakukanlah dia menurut kemampuanmu" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Disamping itu ada dalil-dalil lain yang menekankan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Sesungguhnya apa yang kami sebutkan tersebut telah difatwakan sekelompok ulama, di antaranya Syaikh Ibnu Taimiyah dan muridnya, Al-Alammah Ibnul Qayyim semoga Allah meberikan rahmat kepada keduanya.


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal 135 - 140, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

Seguir leyendo...

Daftar Blog Saya

Pengikut

TRANSLATE INTO YOUR LANGUAGE