Hukum untuk orang yang meninggalkan sholat (I)
Penulis: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimain
Fiqh, 11 - Maret - 2004, 00:23:48

PASAL PERTAMA
HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT

Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama dahulu dan sekarang.

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :“ orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.

Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.

Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
] وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله [.
“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” ( QS. As Syura, 10 ).

Dan Allah Ta'ala juga berfirman :
] فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا [.
“Jika kamu belainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( As Sunnah ), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An Nisa’, 59 ).

Oleh karena masing masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu diantara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.


PERTAMA : DALIL DARI AL QUR’AN :

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah :
] فإن تابوا وأقاموا الصلاة وآتوا الزكاة فإخوانكم في الدين [.
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu ) adalah saudara saudaramu seagama.” ( QS. At Taubah, 11 ).

Dan dalam surat Maryam, Allah berfirman :
] فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا إلا من تاب وآمن وعمل صالحا فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون شيئا [.

“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam, 59-60 ).

Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang orang yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya :” kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.

Dan relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan orang orang musyrik telah menentukan tiga syarat :
· Hendaklah mereka bertaubat dari syirik.
· Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan
· Hendaklah mereka menunaikan zakat.

Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.

Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama dengan kita.
Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama ; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.

Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat Qishash karena membunuh :
] فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان [.
“Maka barang siapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah ( yang memaafkan ) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah ( yang diberi maaf ) membayar ( diyat ) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik ( pula ).” ( QS. Al Baqarah, 178 ).

Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman :
] ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذابا أليما [.
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” ( QS. An Nisa’, 93 ).

Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang :
] وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما, فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله، فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين، إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم [.
“Dan jika ada dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali ( kepada perintah Allah ), maka damaikanlah antara keduannya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat adil, sesungguhnya orang orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…” ( QS. Al Hujurat, 9 ).

Di sini Allah subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shoheh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" سباب المسلم فسوق وقتاله كفر ".
“Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”

Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman.

Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya ( yang tidak menyebabkan keluar dari Islam ) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.

Jika ada pertanyaan : apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?

Jawabnya adalah : orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad Rahimahullah.

Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan dibagian akhir hadits :
" ثم يرى سبيله إما إلى الجنة وإما إلى النار ".
“ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke sorga atau ke neraka.”

Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.

Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata menjadi kafir, tidak akan ada jalan baginya menuju sorga.

Dengan demikian manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum ( yang tersirat ) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum.

KEDUA : DALIL DARI AS SUNNAH :

1- Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ".
“Sesungguhnya ( batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ).
2- Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib rodhiallohu ‘anhu, ia berkata : aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر ".
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir.” ( HR. Abu Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad ).

Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan kafir tidak sama dengan aturan Islam, karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.

3- Diriwayatkan dalam shoheh Muslim, dari Ummu Salamah Radliallahu anha, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" ستكون أمـراء ، فتعرفون وتنكـرون ، فمن عرف برئ ، ومن أنكـر سلم ، ولكن من رضي وتابع ، قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا ما صلوا ".
“Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukan, barang siapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barang siapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, ( tidak akan selamat ), para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka ?, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :” Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”

4- Diriwayatkan pula dalam shaheh Muslim, dari Auf bin Malik rodhiallohu ‘anhu ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، ويصلون عليكم وتصلون عليهم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم، قيل: يا رسـول الله، أفلا ننابذهم بالسيف ؟ قال : لا، ما أقاموا فيكم الصلاة ".
“Pemimpinmu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukaimu, serta mereka mendoakanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpinmu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah, bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”

Kedua hadits yang terahir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kakafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit rodhiallohu ‘anhu :
دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فبايعناه ، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا ، وأن لا ننازع الأمـر أهله، قال : إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان.
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau, diantara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan ( kepemimpinan ) ini, sabda beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”

Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.

*****
Tidak ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. kalaupun ada hanyalah nash nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash nash tersebut muqoyyad (dibatasi ) oleh ikatan ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.

Jika ada pertanyaan : apakah nash nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya ?
Jawab : tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya :
Pertama : menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Allah telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman :” jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muh

0 komentar:

Daftar Blog Saya

Pengikut

TRANSLATE INTO YOUR LANGUAGE